29 Mei 2013

Ini Dulu, Baru Itu


Apakah anda tahu tongkat kecil yang mengatur rel kereta api? Dengan menggerakkannya sedikit, rel akan bergeser, dan perjalanan kereta api pun berubah arah. Demikian halnya dengan hati. Gerak hati akan menentukan arah kehidupan seseorang.
Ya,,, Buku Bagaimana Menyentuh Hati karangan Abbas As-Siisi  memberikan inspirasi bagi saya. Apalagi bagi seorang aktivis dakwah. Para aktivis dakwah harus memiliki kemampuan untuk membangkitkan perasaan objek dakwahnya untuk bertemu, bersatu dan berbuat sesuatu secara nyata dengan landasan Al-Qur’an dan As-Sunah. Sesuai dengan firman Allah SWT.
“Dan hendaklah ada diantara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan , menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung”(Ali Imran:104)
Dengan semangat tinggi mereka menyeru  manusia kepada kebenaran dan kebaikan, tetapi sayangnya banyak di antara mereka yang tidak mengetahui cara mengambil hati objek dakwah, sehingga banyak kesempatan berharga yang terbuang sia-sia. Di dalam buku ini dijelaskan bagaimana cara untuk mengikat hati objek dakwah.Sebagai daiyah kita pun harus menggunakan cara dan sarana yang diilhami oleh akidah islamiyah, sehingga langkah yang kita tempuh tidak terlepas dari rambu-rambu syariat. Inspirasi saya adalah melakukan dakwah dengan tanpa kata-kata maksudnya disini adalah akhlak. Karena Akhlak lebih utama dari keahlian. Cinta karena Allah adalah pintu menuju hati. Keindahan adalah bahasa hati. Gunakan sarana tarbiyah yang menyenangkan hati. Jadilah saudara yang hangat, menarik, simpatik, dan ceria. Hati yang bersih akan mampu menaklukan hati orang lain dan itulah wasilah dakwah kita sebelum kita menaklukan hati orang lain. Menurut Abbas As-Siisi
“Menaklukan hati lebih didahulukan sebelum menaklukan akalnya”
Hati yang bersih, ibarat magnet yang dapat menarik benda-benda di sekitarnya. Akan terpancar darinya akhlak yang indah mempesona, rendah hati, dan penuh dengan kesantunan. Siapapun yang berjumpa dengannya akan merasakan kesan yang mendalam, siapapun yang bertemu dengannya akan memperoleh aneka manfaat kebaikan, bahkan ketika berpisah sekalipun, orang seperti ini menjadi buah kenangan yang tak mudah dilupakan.
Jadi bagi seorang aktivis dakwah, hati yang bersih merupakan modal untuk dapat menaklukan hati-hati manusia untuk diajak ke jalan yang benar yang kemudian digiring bersama-sama untuk berjuang di jalan Allah swt.
-Azmi Fitria Pratiwi-
*Bagaimana Menyentuh Hati karangan Abbas As-Siisi*

Aku Ingin Menjadi...,

Setelah membaca buku Keakhwatan 2 dari Pak Cahyadi Takariawan. Saya mengerti bahwa muslimah memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan dakwah Islam. Jadi ketika melihat daftar isinya buku ini semakin menarik untuk dibaca . Apalagi isinya tentang mempersiapkan akhwat menjadi daiyah, etika berinteraksi dengan lawan jenis, kisah-kisah shahabiyah yang inspiratif, dan fiqih wanita. Saya jadi ingat kata Bunda Endah dalam Talkshow Kemuslimahan kemarin bahwa Perempuan itu harus bisa mewarnai peradaban dengan Aqidah, Akhlak dan Keimanan, selain itu juga harus cerdas , berkarakter mulia, murah hati, berani dan sederhana. Hal ini juga dibahas dalam buku ini yang menjadi insiprasi saya juga bahwa untuk mempersiapkan akhwat menjadi daiyah ada 4 hal. Yaitu:
1.     Persiapan Spiritual
2.    Persiapan Intelektual
3.    Persiapan Fisik
4.    Persiapan Materi
Keempat persiapan itu harus dilaksanakan dengan seimbang. Tetapi yang menjadi pondasinya adalah persiapan spiritual, yaitu akidah. Karena takaran kekuatan ruhiyah seseorang ditentukan oleh kekuatan akidah di dalam hatinya. Kita bisa lihat bahwa suatu pendidikan generasi awal bermula dari pembentukan akidah di dalam hatinya. Seperti sejak kecil kita sudah diajarkan tentang tuhan kita adalah Allah dan nabi kita adalah Nabi Muhammad SAW.Selain itu yang harus disiapkan dalam persiapan spiritual juga berkaitan dengan loyalitas yang kita miliki,  akhlak yang dimiliki, melakukan amalan sunnah seperti sholat malam, tilawah, menyebut nama Allah dll.
Persiapan yang tak kalah pentingnya adalah persiapan intelektual. Seorang perempuan hendaknya memilki wawasan yang lebih luas. Apalagi seorang Dai seharusnya memiliki wawasan luas yang mencakup ilmu keislamannya, pengetahuan modern  dan alangkah lebih baiknya jika sang Dai memilki ketrampilan dan kecakapan tertentu yang bisa diunggulkan.
Seorang Dai tidak akan maksimal jika dia lemah fisiknya. Karena jika keadaan sakit, maka aktifitas kita dalam berdakwah pun akan terganggu. Oleh karena itu sangat penting bagi kita untuk memperhatikan kesehatan dan melakukan persiapan fisik dengan berolahraga rutin dan menjalankan pola makan yang sehat.
Persiapan terakhir yang juga perlu diperhatikan adalah persiapan materi. Seorang Dai seharusnya bisa mengatur keuangan dengan baik, dengan pengaturan yang baik maka sang Dai bisa menjalankan amanah dengan seimbang.
Itulah salah satu dari banyak hal inspirasi yang bisa saya dapat dari buku Keakhwatan 2. Semoga saya bisa belajar menjadi seorang Daiyah dengan mempersiapakan segalanya seperti yang ada dalam buku.

*Azmi Fitria Pratiwi*

Salma Al Ghumaisha Wanna be Ummu Sulaim Al Ghumaisha


Anas menceritakan bahwa dalam perang Hunain, Ummu Sulaim terlihat membawa sebilah pisau badik. Ketika Abu Thalhah melihatnya, dia melaporkan kepada Rosulullah saw., “Wahai Rosulullah, lihatlah Ummu Sulaim, dia membawa sebilah pisau badik!” Rosulullah saw. lalu bertanya kepada Ummu Sulaim, “Untuk apa pisau itu?” Ummu Sulaim menjawab “Untuk aku gunakan sebagai alat berperang. Begitu ada salah seorang pasukan musyrik yang mendekatiku, maka akan aku tikam perutnya.”
Ya, Ummu Sulaim Al Ghumaisha, seorang politikus yang pemberani, berani melawan kebathilan, berani membela agama Allah dan Rosulullah, dan tak takut mati di medan perang.
Buat para akhwat, termasuk ane, yang suka terlibat dalam kehidupan politik, mari kita tengok, kita teladani Ummu Sulaim.
Bukan, bukan membawa sebilah pisau badik yang kita tiru, tapi sifatnya yang pemberani, berani melontarkan kebenaran-kebenaran yang datang dari Allah. Kata orang “Politik itu kotor”, tapi akan lebih kotor ketika para da’i atau da’iyah tidak ada yang terlibat dalam kehidupan politik. Berpartai bukan hal yang buruk, justru dengan partai kita bisa berdakwah disana.
Perjuangan kita memang tak bisa dibandingkan dengan perjuangan Ummu Sulaim, begitu pula dengan perjuangan saudara-saudara kita di Palestina yang jatuh berguguran sebagai syuhada di Gaza, di Rohingnya, di Siriah. Lawan mereka adalah Negara adidaya, lawan kita hanyalah partai politik, orang-orang nasionalis,dll. Mereka dihujani rudal dan bom, kita hanya dihadang cemoohan dan fitnah. Mereka berdarah-darah, kita hanya berkeringat.
Mari kita sejenak mengingat perjuangan-perjuangan sahabiyah seperti Ummu Sulaim, serta wanita-wanita Palestina, Rohingnya, Siriah, dengan kepalan tangan mujahidah. Agar ghirah mereka mengalir di tangan kita. Jangan takut ukhti,.

Mari mewujudkan iman dengan amal siyasi untuk kesejahteraan bangsa J

Bidadari Tak Bersayap


Ada seorang wanita bernama Asma binti Sakan. Dia suka hadir dalam pengajian Rasulullah saw. Pada suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah saw, engkau diutus Allah kepada kaum pria dan wanita, tapi mengapa banyak ajaran syariat lebih banyak untuk kaum pria? Kami pun ingin seperti mereka. Kaum pria diwajibkan shalat Jum'at, sedangkan kami tidak; mereka mengantar jenazah, sementara kami tidak; mereka diwajibkan berjihad, sedangkan kami tidak. Bahkan, kami mengurusi rumah, harta, dan anak mereka. Kami ingin seperti mereka. Maka, Rasulullah saw. menoleh kepada sahabatnya sambil berkata, "Tidak pernah aku mendapat pertanyaan sebaik pertanyaan wanita ini. Wahai Asma, sampaikan kepada seluruh wanita di belakangmu, jika kalian berbakti kepada suami kalian dan bertanggung jawab dalam keluarga kalian, maka kalian akan mendapatkan pahala yang diperoleh kaum pria tadi." (HR Ibnu Abdil Bar).

Yak, itu sebagai muqaddimah ..

Masyalloh Islam begitu adil kepada kaum wanita, adil disini bukan berarti sama rata, tetapi sesuai kapasitasnya. Mendengar jawaban Rosulullah terhadap pertanyaan Asma membuat ane merinding, berbakti kepada suami dan bertanggung jawab dalam keluarga itu sudah menjadi hitungan jihad bagi kaum wanita. Namun peran wanita tidak berhenti sampai disitu saja, ane terinspirasi dari buku Keakhwatan 2 (Cahyadi Takariawan) dan ane merangkumnya dalam poin-pon berikut :

Pentingnya peran wanita dalam memperbaiki masyarakat
1.      Kesalehan Wanita
Tanpa wanita yang shalihah maka keluarga-keluarga Islam tidak akan dapat diwujudkan, padahal pembinaan dan terbentuknya pergerakan Islam itu bergantug kepada kelahiran keluarga-keluarga Islam ini. Kalau sekiranya pergerakan Islam itu penting untuk membawa dan mempraktikkan Islam maka Wanita yang shalihah juga sama pentingnya. Diantara hal yang perlu dipersiapkan : penyiapan spiritual, memiliki kejelasan loyalitas, serta menghiasi diri dengan akhlak terpuji.

2.      Hikmah
Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil. Pengetahuan Islam, pengetahuan kecakapan, dan pengetahuan kontemporer lainnya, itulah yang perlu dipersiapkan agar hikmah dalam berbicara. Sehingga fikrah-fikrah Islam mudah diterima oleh masyarakat.

3.      Bisa Mendidik dengan Baik
Seorang wanita hendaknya bisa mendidik anak-anaknya dengan baik, karena anak-anak adalah harapan di masa depan. Pada awal pertumbuhan-nya, anak-anak lebih banyak bergaul dengan ibu mereka. Jika sang ibu memiliki akhlak dan perilaku yang baik, maka kelak anak-anak tersebut akan mempunyai andil yang sangat besar di dalam memperbaiki masyarakat. Mulai dari pakaian, perhiasan, interaksi dengan lawan jenis, hingga ke permasalahan-permasalahan anak, seorang ibu wajib mendidik anaknya dengan baik.

4.      Giat di dalam Berdakwah

Pahala dari ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir, sekalipun ia telah meninggal dunia. Da’i yang baik dan senantiasa berusaha memperbaiki orang lain. Dakwah tak pandang bulu terhadap objek, baik kepada wanita sebagai ibu rumah tangga, sebagai ibu pendidik, sebagai wanita ahli kesehatan, sebagai wanita yang berperan dalam bidang ekonomi, sebagai wanita aktivis sosial, dan bahkan wanita yang terlibat dalam kehidupan politik.

Keakhwatan 2, Salma HMA

11 Mei 2013

Ummu sulaim ato Ummu Salamah???



Bismillahirrohmanirrohim…
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji syukur kepada Rabb semesta alam. Atas limpahan rahmat
dan kasih sayangNya-lah sehingga islam sampai pada hati kita semua. Sholawat serta salam tidak
lupa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. karena beliau lah islam pun telah hadir di sekitar
kita bahkan terus mengalir bersama aliran darah pada diri kita sekarang.
Kesungguhan diri ini untuk terus berada di jalan dakwah tak lepas dari dukungan murrobiyah dan
saudari-saudariku tercinta. Segala aral rintang yang menghadang memang sudah kami yakini itu
akan tetap ada membersamai perjuangan kita di jalan kebenaran ini. Allah akan menepati janjiNya
bagi mereka yang mempercayai bahwa jalan ini (dakwah-red) akan berbuah manis di penghujung
kehidupan kita.
…berharap bisa menjadi ummu sulaim atau ummu salamah…,
Dia, Ummu Sulaim, lebih tepatnya dikenal dengan Ummu Sulaim Al-Ghumaisha binti Milhan.
Kisahnya yang dinikahkan oleh seorang kafir, Abu Thalhah, hingga ia meminta agar Abu Thalhah mau
masuk islam dan dijadikannya keislaman itu sebagai mahar untuk menikahi Ummu Sulaim. Sangat
jelas, apa yang dilakukan Ummu Sulaim semata-mata karena dia adalah perempuan muslimah yang
haram hukumnya jika menikah dengan seorang kafir. Sebagai seorang muslimah dia telah berhasil
untuk mendakwahi calon suaminya agar dapat memeluk islam. Bahkan Abu Thalhah sendiri juga
akhirnya menjadi sosok yang sangat mendukung dakwah Rasulullah.
Atau dia, Ummu Salamah, seorang perempuan muslim yang tegar. Karena ditinggal mati oleh suami
tercintanya, Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum. Namun
kesedihan itu pun tak berhujung lama. Karena pada akhirnya pun Rasullullah, manusia paling mulia,
meminang Ummu Salamah melalui perantara Hathib bin Abi Balta’ah. Bersama dengan istri-istri yang
lain, Ummu Salamah membantu perjuangan dakwah rasul. Perempuan mana yang sebenarnya ingin
di madu. Namun Ummu Salamah yakin, kebahagiannya itu tidak akan habis jika dibagi dengan orang
lain. keadaan yang memang menuntutnya untuk dimadu. Dimana keadaan wanita sangat tidak aman
pada masa itu. Sehingga sahabat nabi berbondong-bondong untuk menawarkan dirinya untuk
meminang Ummu salamah (sebelum nabi meminang Ummu Salamah).
Kisah dua perempuan yang menginspirasi. Kedudukannya sebagai seorang istri tunggal maupun istri
ke sekian tidak menghalangi perjuangannya di jalan Allah. Mungkin ini yang akan saya sampaikan.
Sebagai Ummu Sulaim, layaknya seorang akhwat yang menikah dengan orang non-ikhwah (jika
dikaitkan dengan kondisi sekarang), yang pada akhirnya dapat mengkader suaminya sendiri menjadi
kader dakwah militant. Atau berjuang seperti Ummu Salamah, layaknya seorang akhwat yang
menikah dengan seorang kader dakwah militant namun rela untuk membagi kebahagiaan dengan
orang lain. Tanpa memperdulikan apa itu kebahagaiaan dunia, karena sejatinya kebahagiaan yang
hakiki adalah kebahagiaan pada tempat peristirahatan panjang dan kekal di surga kelak bersama
orang-orang yang dicintainya. Inspirasi ini memotivasi diri saya sendiri untuk terus berbuat baik
kepada siapa saja, sekalipun kebahagiaan akhirnya terbagi dengan saudara/saudari yang lain. Yakin,
bahwa Allah bersama hamba-hambaNya yang sabar menanti kebahagaian yang kekal kelak. Bismillahirrohmanirrohim…
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji syukur kepada Rabb semesta alam. Atas limpahan rahmat
dan kasih sayangNya-lah sehingga islam sampai pada hati kita semua. Sholawat serta salam tidak
lupa tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw. karena beliau lah islam pun telah hadir di sekitar
kita bahkan terus mengalir bersama aliran darah pada diri kita sekarang.
Kesungguhan diri ini untuk terus berada di jalan dakwah tak lepas dari dukungan murrobiyah dan
saudari-saudariku tercinta. Segala aral rintang yang menghadang memang sudah kami yakini itu
akan tetap ada membersamai perjuangan kita di jalan kebenaran ini. Allah akan menepati janjiNya
bagi mereka yang mempercayai bahwa jalan ini (dakwah-red) akan berbuah manis di penghujung
kehidupan kita.
…berharap bisa menjadi ummu sulaim atau ummu salamah…,
Dia, Ummu Sulaim, lebih tepatnya dikenal dengan Ummu Sulaim Al-Ghumaisha binti Milhan.
Kisahnya yang dinikahkan oleh seorang kafir, Abu Thalhah, hingga ia meminta agar Abu Thalhah mau
masuk islam dan dijadikannya keislaman itu sebagai mahar untuk menikahi Ummu Sulaim. Sangat
jelas, apa yang dilakukan Ummu Sulaim semata-mata karena dia adalah perempuan muslimah yang
haram hukumnya jika menikah dengan seorang kafir. Sebagai seorang muslimah dia telah berhasil
untuk mendakwahi calon suaminya agar dapat memeluk islam. Bahkan Abu Thalhah sendiri juga
akhirnya menjadi sosok yang sangat mendukung dakwah Rasulullah.
Atau dia, Ummu Salamah, seorang perempuan muslim yang tegar. Karena ditinggal mati oleh suami
tercintanya, Abdullah bin Abdul Asad bin Hilal bin Abdullah bin Umar bin Makhzum. Namun
kesedihan itu pun tak berhujung lama. Karena pada akhirnya pun Rasullullah, manusia paling mulia,
meminang Ummu Salamah melalui perantara Hathib bin Abi Balta’ah. Bersama dengan istri-istri yang
lain, Ummu Salamah membantu perjuangan dakwah rasul. Perempuan mana yang sebenarnya ingin
di madu. Namun Ummu Salamah yakin, kebahagiannya itu tidak akan habis jika dibagi dengan orang
lain. keadaan yang memang menuntutnya untuk dimadu. Dimana keadaan wanita sangat tidak aman
pada masa itu. Sehingga sahabat nabi berbondong-bondong untuk menawarkan dirinya untuk
meminang Ummu salamah (sebelum nabi meminang Ummu Salamah).
Kisah dua perempuan yang menginspirasi. Kedudukannya sebagai seorang istri tunggal maupun istri
ke sekian tidak menghalangi perjuangannya di jalan Allah. Mungkin ini yang akan saya sampaikan.
Sebagai Ummu Sulaim, layaknya seorang akhwat yang menikah dengan orang non-ikhwah (jika
dikaitkan dengan kondisi sekarang), yang pada akhirnya dapat mengkader suaminya sendiri menjadi
kader dakwah militant. Atau berjuang seperti Ummu Salamah, layaknya seorang akhwat yang
menikah dengan seorang kader dakwah militant namun rela untuk membagi kebahagiaan dengan
orang lain. Tanpa memperdulikan apa itu kebahagaiaan dunia, karena sejatinya kebahagiaan yang
hakiki adalah kebahagiaan pada tempat peristirahatan panjang dan kekal di surga kelak bersama
orang-orang yang dicintainya. Inspirasi ini memotivasi diri saya sendiri untuk terus berbuat baik
kepada siapa saja, sekalipun kebahagiaan akhirnya terbagi dengan saudara/saudari yang lain. Yakin,
bahwa Allah bersama hamba-hambaNya yang sabar menanti kebahagaian yang kekal kelak.

Rizqani Nur Agustin
-Keakhwatan 2-

Menjadi Perhiasan Dunia yang Paling Indah...



Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah perempuan salehah. (H.R. Muslim)
Saleh berasal dari sebuah istilah shalaha-yasluhu yang berarti normal, sehat, pantas, dan bermanfaat (al-Mu’jam Al Wasith).
Kesalehan pribadi seseorang merupakan sebuah kondisi dimana kepribadian seseorang tersebut normal dan pantas sehingga membuat orang lain senang bersamanya, sekaligus berdaya guna dan bermanfaat bagi orang lain.
Islam menjadikan amal saleh sebagai pendamping dari iman, karena itulah buah iman yang hakiki. Sebagai seorang akhwat maka harus memiliki kesalehan sikap karena itulah hiasan yang sesungguhnya dan itulah perhiasan dunia yang tiada bandingnya.

Kesalehan perempuan menjadikannya sebagai seindah-indah perhiasan..
bukan hanya karena cantiknya wajah,
bukan karena keindahan mode dan warna  pakaian  yang ia kenakan,
bukan karena perhiasan emas yang melekat di badan,
bukan karena putihnya kulit dan pemerah pipi,
kebaikan diri-lah yang akan mengantarkan perempuan menjadi sebaik-baik perhiasan dunia,
mari kita belajar menjadi wanita salehah yang sesungguhnya,
bukan hanya karena indahnya fisik namun karena kebaikan diri dan hati.
***

Niken Wiji Harena, Pendidikan Biologi 2009_UNNES
Cahyadi Takariawan, dkk.

4 Mei 2013

Griya Muslimah Ideal



Muslimah dituntut untuk menyempurnakan diri menjadi muslimah yang ideal yang serba bisa dan mampu untuk mengemban tugasnya dengan baik di segala peran kehidupan. Untuk mencapai muslimah ideal diperlukan sarana untuk menuju kesana. Muncullah ide kreatif bahwa kita perlu memiliki bangunan khusus untuk menfasilitasi terciptanya muslimah ideal yaitu dengan membangun sebuah bangunan yang didalamnya terdapat banyak bilik-bilik yang masing – masing bilik memiliki fungsinya masing-masing. Diantara bilik-bilik tersebut yaitu:
1.       Heart Room
Ruangan yang di desain khusus untuk menumbuhkan ruhiyah yang sehat disana ada bilik-bilik khusus jika ada yang ingin menyendiri ruangan itu juga disediakan telepon untuk menghubungi ustadzah yang khusus untuk permasalahan ruhiyah, terseia juga buku-buku terkait masalah hati.
2.       Think Room
Ruangan yang di desain khusus untuk diskusi dan membaca buku dalam rangka meningkatkan kemampuan fikriyahnya dan tersedia juga komputer dan wifi.
3.      Healty Body Room
Ruang yang di desain untuk olahraga dengan banyak permainan olah raga yang tersedia, juga tersedia buku-buku terkait kesehatan.
4.      Skill Room
Ruang yang didesain banyak kegiatan yang mengasah skil sebagi wanita seperti menjahit, menyulam, memasak, merawat anak dan lain sebagainya
Griya muslimah ideal ini dibuka setiap hari.

Mafaza Salsabila

'Keakhwatan 2"

Simple tapi tak Mudah,


Amanah dakwah hanya dapat diemban oleh orang-orang yang memiliki azimah (idealisme yang tinggi) bukan orang yang memilih tujuan yang rendah, senang dengan hidup santai dan rileks, memilih istirahat dan tidak mau susah. Da’wah hanya dapat dikerjakan oleh orang yang dapat mengalahkan udzur bukan pandai membuat udzur, berupaya maksimal untuk terus aktif di medan jihad dan memberikan kontribusi yang terbaik buat dakwah.

Nanik Suwarsih
Inspired Keakhwatan 2, Cahyadi Takariawan.

Surat Untuk Para Penyeru


 “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. 8:4)

Dakwah dan jihad adalah dua kata yang selamanya harus ada dan terpatri dalam diri seorang muslim yang menghendaki al-manzilah al-‘ulya (kedudukan tinggi) di sisi Allah. Setiap mukmin yang memahami dan menghayati hakikat kehidupan, pasti akan menempuh jalan kebahagiaan abadi di sisi Allah. Ia akan mendekat, berlari, dan terbang menuju keridhaan-Nya.

Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah… (QS. 51:50)

Dan setiap muslim yang di dalam relung hatinya terhujam keyakinan bahwa kematian itu hanyalah kepastian yang cuma terjadi sekali, maka ia akan memilih seni kematian yang paling mulia di sisi Allah.
Imam Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah mengungkapkan bahwa ummat yang dapat memilih seni kematian dan memahami bagaimana mencapai kematian yang mulia, maka Allah pasti memberikan kepada mereka kemuliaan hidup di dunia dan kenikmatan abadi di akhirat (Risalah Jihad-Majmu’ah Rasail Al-Banna).
Saudaraku, adakah jalan yang lebih mulia dan dapat membawa kita menuju puncak kebahagiaan selain jalan dakwah yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw dan yang beliau nyatakan menjadi jalan pengikutnya?!

Katakanlah, “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujjah yang nyata…” (QS. 12:108).
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shaleh dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. 41:30).

Dan adakah kematian yang lebih terpuji di sisi-Nya yang selalu didambakan oleh hamba-hamba yang beriman sejak dulu hingga hari Kiamat selain mati dalam Jihad fii sabiililllah?!

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. (QS: 9:20).

Saudaraku, tidak ada yang telah membuat usia para shahabat dan para ulama sekaliber Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad rahimahumullah seolah terus memanjang hingga akhir zaman kecuali dakwah yang mereka lakukan. Tidak ada sesuatu yang telah membuat lisan orang-orang mukmin menyebut dan mendoakan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, dan Khalid bin Walid ra atau tokoh-tokoh seperti Shalahuddin Al-Ayyubi, Thariq bin Ziyad, dan Al-Muzhaffar Quthuz selain Jihad Fii Sabilillah. Kehidupan mereka menjadi amat berarti dan berharga karena mereka sigap menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya.
Namun saudaraku, kesigapan itu bukanlah hal yang muncul begitu saja, ia adalah buah dari keimanan kepada Allah sebagai Pemberi dan Pencipta kehidupan, buah dari keimanan kokoh kepada hari akhir di mana kehidupan dan kebahagiaan hakiki berada. Kesigapan itu lahir dari hati yang tidak lalai dari hakikat ini berkat taufiq dan ri’ayah rabbaniyah (penjagaan Allah). Oleh sebab itu, Allah swt berfirman, “…dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan ketahuilah bahwa hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (di mahsyar). Maka kita patut bertanya dan mengevaluasi diri: seberapa kuatkah hakikat kehidupan abadi di akhirat telah tertanam dalam hati, sehingga kita berhak mendapatkan ri’ayah rabbaniyyah tersebut sehingga ruhul istijabah (jiwa responsif) terhadap seruan Allah menjadi karakter inheren diri kita? Seberapa kuat hakikat ini menshibghah (mewarnai) diri dan perilaku kita sehingga segala resiko duniawi dalam dakwah dan jihad fi sabililillah menjadi kecil di mata kita?
Kekuatan inilah yang menyebabkan Anas bin An-Nadhr ra (paman Anas bin Malik ra) membuktikan respon spontan kepada Sa’ad bin Mu’adz ra tatkala pasukan mukmin terdesak oleh musyrikin di perang Uhud dengan ucapannya:

Ya Sa’ad ! Surga… aku mencium baunya di bawah bukit Uhud..

Kemudian beliau maju menjemput syahid sehingga jenazahnya tidak dapat dikenali kecuali oleh saudara perempuannya lewat jari tangannya (Muttafaq ‘alaih - Riyadhus shalihin, Kitab Al-Jihad, hadits no 1317).
Hal itu pula yang menjadikan Hanzhalah yang dijuluki ‘Ghasiil Al-malaikah’ (yang dimandikan oleh malaikat) segera merespon panggilan jihad, meski ia baru menikmati malam pengantin dan tidak sempat mandi hadats besar.
Perhatikan pula respon ‘Umair bin Al-Humam ra tatkala beliau mendengar sabda Rasulullah saw:

Bangkitlah menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi

Beliau mengucapkan kata “bakh-bakh” (ungkapan takjub terhadap kebaikan dan pahala) semata-mata karena ingin menjadi penghuni surga, lalu segera membuang beberapa biji kurma yang sedang dikunyahnya sambil berkata:
Jika saya hidup sampai selesai memakan kurma ini, oh betapa lamanya (menanti surga). Lalu beliau maju hingga gugur di perang Badar. (HR. Muslim - Riyadhus shalihin, Kitab Al-Jihad, hadits no 1314).
Atau seperti Imam Al-Banna yang berangkat menunaikan tugas dakwah meskipun anaknya terbaring sakit. Beliau meyakini bahwa setelah usahanya optimal untuk mengobati putranya, Allah yang ia harapkan dalam menunaikan tugas dakwahnya, tidak pernah akan mengecewakan dirinya.
Saudaraku, ruhul istijabah juga muncul karena pemahaman kita tentang qadhaya ummah (problematika umat) dan ruhul mas’uliyah (tanggung jawab) kita untuk mencari solusinya. Orang yang tidak mengetahui bahaya yang mengancam dirinya, sangat sulit kita harapkan responnya untuk menghindari apalagi menghilangkan bahaya tersebut. Imam Syahid Hasan Al-Banna bahkan menghendaki agar setiap akh memiliki kepekaan perasaan, bukan sekadar pengetahuan teoritis, tetapi harus menjadi perasaan yang membuatnya tersentuh bahagia dengan kebaikan, dan terluka karena keburukan dan kebatilan. Dan bukankah dakwah adalah upaya kita menegakkan al-haq dan menghancurkan kebatilan?
Kepekaan perasaan dan ruuhul mas’uuliyyah berarti mengharuskan kita untuk selalu berinteraksi dengan qhadhaya ummah dan terus memahaminya tanpa menunggu orang lain memahamkannya untuk kita. Sifat ini juga seharusnya membuat respon kita menjadi spontan dan penuh energi, sehingga melahirkan kekuatan dahsyat betapapun lemahnya kondisi fisik. Lihatlah, bagaimana Al-Qur’an menceritakan kemampuan Maryam as, ibunda Isa as, menggoyang batang pohon kurma sehingga buahnya berjatuhan ketika beliau dalam keadaan lemah tak berdaya semata-mata karena memenuhi perintah Allah dan rasa tanggung jawabnya akan kelahiran dan keselamatan putranya yang akan mengemban risalah dakwah?

Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu. (QS: 19:25)

Saudaraku, beban kehidupan dunia yang kita hadapi, apapun bentuknya, jangan sampai membuat kita kehilangan kepekaan dan kesigapan memenuhi seruan dakwah dan jihad. Kita patut meneladani mujahidin Palestina yang tidak pernah mengendur semangat dan aktivitas jihadnya meskipun perjalanan panjang telah mereka lewati dan terus menanti mereka, dan meskipun kesulitan hidup bahkan tekanan bertubi-tubi terus menghantam. Dan yakinlah bahwa kebersamaan kita bersama Rasulullah saw, shiddiqin, syuhada, dan shalihin di surga – insya Allah – ditentukan oleh sejauh mana kita meneladani mereka dalam kesigapan memenuhi seruan dakwah dan jihad.
Ingatlah selalu kecaman Allah dan Rasul-Nya terhadap orang-orang munafiq yang selalu mencari-cari alasan (tafannun fil ‘udzr) untuk menghindar dari kebutuhan berdakwah dan berjihad.

Mereka (orang-orang munafiq) mengemukakan udzurnya kepadamu apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah, “Janganlah kamu mengemukakan udzur, kami tidak percaya lagi kepada kamu… (Q.S. 9:94).

Tadabburi pula ayat lainnya di dalam surat At-Taubah (terutama ayat 41-47, ) yang mengungkapkan kemalasan dan keengganan mereka agar kita senantiasa terhindar dari sifat-sifat mereka.

Ingatlah, kamu adalah orang-orang yang diseru untuk menafkahkan (hartamu) [ada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri, dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang membutuhkan(Nya). Dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu. (QS. 47:38). 

Wallahu a’lam 

1 Mei 2013

Kau Mempesona


Allah menciptakan wanita dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Dia memberikan sifat keanggunan, keindahan, dan kelembutan. Namun di sisi lain wanita juga makhluk yang lebih lemah fisik, pengendalian emosi dan perasaan dari pada kaum laki-laki. Maka banyak yang berpendapat posisi pemimpin lebih baik diambil alih oleh laki-laki. Lalu bagaimana dengan peran wanita?
Dalam firmannya QS. Al Qiyamah: 36, Allah mengatakan
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?”
Demikian pula dengan penciptaan wanita dengan segala sifat yang melekat pada dirinya, pasti tidak ada yang sia-sia, pastilah ada hikmah dibalik itu semua. Tinggal bagaimana kita bisa menjadikan semua yang dianugrahkan oleh Allah tersebut sesuai dengan peran dan fungsinya.
Dalam buku keakhwatan 2, dibahas mengenai hal-hal yang perlu disiapkan agar muslimah bisa memenuhi amanahnya. Karena sejatinya muslimah itu memiliki peran yang yang sangat besar terutama dalam sejarah dakwah Islam. Saya menjadi sadar bahwa peran yang besar itu ternyata dimulai dari hal-hal yang kecil dan detil. Dari bagaimana penyiapan spiritualnya, intelektual, akhlak kepribadian, cara berpakaian, berinteraksi, bahkan pada bagaimana ia bersuci. Jelas peran yang besar itu tidak akan terlakoni dengan baik apabila hal-hal di atas belum dipahami dan dilaksanakan dengan baik.
Saya juga semakin menyadari bahwa jika kita melihat sejarah para shahabiyah, yang tidak diragukan lagi peran mereka pada masa dakwah Rasulullah SAW dahulu, maka beliau-beliau itu tidak melupakan kewajiban dalam rumah tangga dan keluarganya. Namun tidak pula membatasi dirinya dalam keluarga saja. Wanita pun ternyata memiliki peran yang penting jika kita bisa mengolah potensi kita dan bisa menempatkannya dengan benar.
MasyaAllah, tiada yang sia-sia dari apa yang Allah ciptakan dan tetapkan. Begitu juga dengan makhluk Allah yang bernama wanita. Saya pun ingin terus belajar dan beramal, untuk menjadi wanita seperti yang Allah dan Rasul-Nya ajarkan.

By Ayu Gumilang
Pendidikan Matematika 2009

Mempersiapkan Akhwat sebagai Da'iah



Sebagai seorang muslimah tentunya mendapatkan kewajiban untuk mengingatkan orang lain dalam hal kebaikan. Tidak hanya mengingatkan orang lain saja, tetapi seorang muslimah terlebih dahulu untuk mengamalkan ilmu yang didapatkannya. Untuk itu seorang muslimah harus mempersiapkan dirinya terlebih dahulu. Dalam proses ini meliputi 4 hal, antara lain: penyiapan spiritual, penyiapan intelektual, penyiapan fisik, dan penyiapan materi.
Pada generasi awal islam tarbiyah merupakan hal paling mendasarkan yang ditanamkan dalam hati. Rasulullah saw. menyiapkan generasi awal lewat tarbiyah ruhiyah ( pembinaan spiritual ) yang mantap. Turunnya surat Al Muzamil pada awal periode mekkah mengisyaratkan betapa kuatnya tarbiyah saat itu. Jika diperhatikan terdapat beberapa tonggak dalam upaya mempersiapkan kekuatan ruhiyah seorang daiyah muslimah, yaitu memiliki kejelasan loyalitas, menghiasai diri dengan akhlak yang terpuji, shalat malam, tilawatil Qur’an, dan mengingat dan menyebut nama Alloh nama Alloh.
Tidak cukup hanya berbekal penyaiapan aspek ruhiyah saja, para daiyah muslimah semestinya juga mempersiapkan diri dalam hal intelektualitas (tsaqofah).  Dalam mengemban amanah sebagai seorang daiyah muslimah dituntut untuk memperkaya pengetahuannya. Agar ia lebih mudah meyakinkan orang lain juga agar dakwah yang disampaikan tidak kehilangan kualitasnya. Minimal terdapat tiga keilmuan yang diperlukan daiyah muslimah untuk dirinya sendiri maupun kaitannya dengan tugas dakwahnya antara lain pengetahuan islam pengetahuan modern, dan pengetahuan kecakapan.
Penyiapan fisik ternyata merupakan bagian integral dari keseluruhan penyiapan yang mesti dilakukan oleh para daiyah muslimah. Seorang daiyah muslimah harus selalu menjaga kesehatannya. Selain itu penyiapan materi seorang daiyah teramat penting untuk menunjang kelancaran dalam dakwah.
Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat dua hal yan membawa keteraturan. Pertama adanya seperangkat sistem, tata tertib, atau ketentuan yang mengatur kehidupan manusia. Kedua adanya sikap ketaatan manusia atas sistem ketentuan tersebut. Dua hal tersebut merupakakn persyaratan umum agar tercipta keteraturan dalam kehidupan. Sekuat dan sebagus apapun sebuah sistem jika tidak dipatuhi maka tidak akan memberikan pengaruh apapun dalam kehidupan. Akan tetapi sebuah aturan baru layak ditaati, apabila membawa kemaslahatan bagikehidupan secara umum. Dalam islam, tata aturan yang harus ditaati adalah keseluruhan ajaran islam itu sendiri yang bersumber dari Alloh yang Maha Mengetahui dan bijaksana. Aturan yang sangat mempertihatikan sisi kemanusiaan karena dibuat oleh sang pencipta manusia. Setiap muslim dan muslimah dituntut untuk memiliki sejumlah ketaatan sebagai konsekuensi dari keimanannya. Ada tiga macam ketaatan yang diperintahkan bagi setiap muslim dan muslimah, yaitu taat kepada Allah, Rasul, dan ulil amri. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud taat kepada Allah adalah mengikuti Al Qur’an, taat kepada Rasul adalah dengan mengikuti sunah, adapun taat kepada ulil Amri adalah ketaatan kepada para ulama dan pemimpin.

Semarang, April 2013
Mayasari Dian Pratiwi

Jalan Pilihan



Ketika kita ingat kaidah dakwah, jalannya panjang, berat, penuh duri dan onak, dan hanya orang yang berkomitmen saja yang bertahan. Akankah kita menjadi bagian dari sedikit orang yang berkomitmen untuk bertahan? Sebuah pilihan ketika ingat  diciptakannya manusia dalam surat Al  A’raf 172, manusia sudah mengenal Tuhan mereka yaitu Allah ketika masih berbentuk roh. 
Dalam membangun komitmen dakwah, keimanan itu naik dan turun, sudahkah kita menjadi batu bata dimana kita berada? Sudahkah doa kita dalam dakwah? Banyaknya kenikmatan Allah tiada tara yang kita rasakan, bagaimana cara kita mensyukuri nikmatNya?
                Dari semua kondisi manusia berada dalam kerusakan, pengecualian orang-orang yang beriman, beramal soleh, menasehati orang lain (saling menasehati) dalam keteguhan kebenaran dan sabar. Beriman saja tidak cukup, harus beramal soleh, menjadi soleh saja tidak cukup, harus saling menasehati. Dalam surah Al A’raf ayat 163-165 menjadikan alasan kita untuk berdakwah. Bagaimana cara kita memantaskan diri dan menyiapkan diri menjadi seorang kader dakwah? Terkadang kita merasa, saya masih muda dan belum punya cukup ilmu, atau berbagai alasan untuk mundur dari tugas dakwah. Perlu kita sadari, berdakwah itu merupakan kewajiban setiap muslim dan menjadi muslim adalah sebuah kewajiban untuk menjaga keimanannya.
Berdakwah tidak hanya membutuhkan semangat saja, melainkan membutuhkan persiapan dan pemantasan diri. Pertama, persiapan fisik, seorang muslimah (mujahidah) yang kuat fisik dan sehat lebih disukai Allah karena dengan kondisi demikian mendukung pergerakannya dalam berdakwah. Kedua, persiapan rukhiyah, pemantasan diri saling menasehati berawal dari kondisi rukhiyah yang bagus, yaitu hubungan kita dengan Allah. Ketiga, persiapan ilmu, seorang mujahidah memantaskan diri untuk selalu belajar dan memperbaiki diri dari berbagai arah, baik ilmu agama maupun pengetahuan umum.
Menjadi seorang muslimah adalah istimewa. Seorang muslimah akan menjadi seorang isteri dan ibu dari anak-anak. Dengan kata lain, ummahat. Seorang ibu yang cerdas akan menghasilkan anak yang cerdas juga. Berdakwah sebagai seorang mujahidah tidak hanya diri sendiri tapi menyeluruh pembentukan karakter ummat. Sebagai seorang muslimah apalagi kader dakwah harus bisa menempatkan diri menghadirkan akhlak sebagai seorang akhwat. Image akhwat yang sesungguhnya, santun dalam perkataan dan perbuatan, serta menjaga interaksi baik sesama wanita maupun dengan lawan jenis.
Ummat ini bisa dianalogikan seperti rumput. Ketika tanah itu tandus dan gersang, maka rumput itu akan sulit tercabut. Ini diartikan sebagai mujahidah yang berkomitmen akan sulit dicabut dalam keadaan sebagai minoritas, mujahidah ini militan yang siap untuk dimobilisasi. Mujahidah tipe ini akan berusaha menyirami tanah-tanah tandus disekitarnya untuk disemai menjadi bibit unggul. Ketika kita berada dalam kondisi minoritas, ketika tidak ada halaqoh buat kita buat halqoh itu, ketika tidak ada lingkungan kondusif maka kita buat lingkungan itu. Sebaliknya, tanah yang subur, rumput itu banyak dan mudah dicabut. Analogi ini bisa maknai ketika kita berada dalam kondisi mayoritas dan terlena maka kondisi rukhiyah kita pun akan dengan mudah terombang-ambing.

Belajar dari pengalaman pribadi. Ketika saya berada di jawa yang memanjakan saya dengan berbagai sumur ilmu, saya hanya mengikuti majelis-majelis ilmu itu untuk pengembangan pribadi dan belum mengamalkannya secara maksimal. Ketika setahun bertugas di Manggarai dan menjadi minoritas, saya harus berjuang berdakwah menunjukkan bagaimana seorang muslim itu ditempat tugas dimana saya menjadi muslim satu-satunya. Banyak pengalaman lucu ketika harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang yang belum pernah bersentuhan dengan seorang muslimah secara dekat. Justru dengan cara demikian, kemampuan berkomunikasi dan pemantasan diri dari bekal di jawa sangat membantu.  Selain itu, penguatan ukhuwah dalam minoritas dengan saudara-saudara lebih terasa. Kondisi sebagai seorang minoritas dan tempat tugas yang luar biasa di remote area membuat saya menjadi seorang yang lebih survive. Semangat untuk menyalurkan sedikit pengetahuan yang saya miliki kepada saudara semuslim dan semakin semangat untuk memantaskan diri dengan belajar terus.
Ketika berada di jawa, saya belajar mendatangi majelis-majelis ilmu dalam dekapan ukhuwah mayoritas dan kurang berbuat lebih. Namun, ketika kondisi memaksa diri saya sebagai minoritas, kondisi ini memacu saya membuat lingkungan kondusif itu dengan mobilitas tinggi. Sensasi-sensasi perjalanan dakwah yang belum pernah dirasakan dijawa; Mulai dari liqo’ dua pekan sekali yang jaraknya jauh dan mengharuskan menginap sehari sebelumnya , mengisi ta’lim ibu-ibu di kampung Muslim Nangapaang (pengalaman kali pertama menghandle ummahat), membina adek-adek mentoring yang belum mengenal tarbiyah dengan degradasi moral yang jauh berbeda dengan di Jawa sampai mengajari ngaji anak-anak muslim di koramil Iteng  yang sulit mendapatkan guru ngaji dan jauh dari komunitas muslim. 
Sebagai seorang mujahidah, kita harus siap dalam kondisi apapun seperti analogi anak panah, setiap anak panah harus siap diluncurkan busur kearah mana saja. Tentu saja, kita harus memantaskan diri dengan persiapan fisik, rukhiyah, dan ilmu. Seorang ,mujahidah qowi’ harus sehat dan kuat secara fisik, kondisi rukhiyah yang stabil dan bagus, serta memperbanyak ilmu dengan terus belajar dari berbagai sumber untuk memperkaya khazanah keilmuan dan pengetahuan umum.
Sudahkah kita menjadi batu bata dimana kita berada? Memperkenalkan diri kita sebagai seorang akhwat sekaligus daiyah dengan memantaskan diri? Menjadi daiyah itu tidak selalu dengan istilah muluk-muluk. Cukup menunjukkan bagaimana aqidah yang lurus dan akhlaq yang kita miliki dalam cerminan keseharian kita. Berlanjut menyentuh hati dari obyek dakwah terdekat kita, keluarga dan teman dekat. Kemudian berlanjut ke lingkungan yang lebih luas, lingkungan sosial di masyarakat, mulai dari dakwah sekolah, dakwah kampus, dan dakwah ummat.  

Ditulis oleh: Endah Tri Widyarini, S.Pd (Mahasiswa PPG Bahasa Inggris UNNES 2013)
-inspired : keakhwatan 2, Cahyadi Takariawan- 

Bermula Dari Seekor Ulat Menjadi Kupu-Kupu yang Indah



Bermula dari sebuah buku yang sangat menginspirasi hidupku yaitu “Keakhwatan 2”. Sebuah buku yang memberikan efek yang luar biasa dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika kubaca buku ini banyak hal yang bisa kita ambil manfaatnya. Buku ini mengajarkan kita bagaimana mempersiapkan akhwat menjadi sosok muslimah yang siap terjun didalam  masyarakat. Wanita bagaikan berlian yang senantiasa menyinarkan kemilaunya di tengah-tengah masyarakat. Harapannya seorang wanita mampu menjadi pelita di dunia ini dan menjadi sosok pewarna peradaban di dunia ini. Seorang nabi, seorang pemimpin, seorang ulama, seorang ilmuwan lahir dari seorang wanita yang sering kita sebut “ibu”. Ibu merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya. Ketika nantinya kita akan menjadi seorang ibu pastilah membutuhkan hal-hal untuk mempersiapkannya. Di dalam buku ini mengupas tentang segala hal yang dibutuhkan seorang wanita untuk menjalankan peranannya di masyarakat. Berawal dari bagaimana mempersiapkan akhwat menjadi daiyah, etika berinteraksi dengan lawan jenis, kisah- kisah shahabiyah yang inspiratif, dan fiqih wanita.
                Fenomena dewasa ini, kita sering menjumpai bebasnya interaksi antara laki-laki dan perempuan. Setiap sudut jalan sering kita jumpai seorang laki-laki dan perempuan yang sedang berkhalwat (berdua-duaan) tanpa ada rasa malu. Miris dan prihatin hati ini ketika melihat fenomena tersebut. Ketika seorang wanita bagaikan sebuah kue, ketika kita akan membeli kue pasti akan lebih memilih kue yang terpajang dan terbungkus rapi di rak kaca yang jarang sekali orang memegangnya. Begitulah analogi wanita, tidak ada orang yang ingin membeli kue yang sudah terbuka dan dipegang oleh banyak orang. Harapannya kita sebagai wanita bisa menjaga izzah kita sebagai wanita. Di dalam buku ini membuka jendela pikiran dan hati kita bahwasannya adanya batasan-batasan antara laki-laki dan perempuan. Bagaimana kita bertemu, ketika berbicara, dan ketika berinteraksi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal tersebut yang sering terlupakan oleh kita ketika berhadapan dengan lawan jenis. Harapannya kita senantiasa mengaplikasikannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
                Semoga dengan adanya buku ini mampu mengubah seekor ulat menjadi kupu-kupu yang indah yang mampu menjadi pewarna peradaban di dunia dan di akhirat. Senantiasa berlomba-lomba dalam kebaikan dan bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.

-Dian Novita Kusumaningrum-
twetter : @dhyand_nophytha