Ketika
kita ingat kaidah dakwah, jalannya panjang, berat, penuh duri dan onak, dan
hanya orang yang berkomitmen saja yang bertahan. Akankah kita menjadi bagian
dari sedikit orang yang berkomitmen untuk bertahan? Sebuah pilihan ketika
ingat diciptakannya manusia dalam surat
Al A’raf 172, manusia sudah mengenal
Tuhan mereka yaitu Allah ketika masih berbentuk roh.
Dalam
membangun komitmen dakwah, keimanan itu naik dan turun, sudahkah kita menjadi batu
bata dimana kita berada? Sudahkah doa kita dalam dakwah? Banyaknya kenikmatan
Allah tiada tara yang kita rasakan, bagaimana cara kita mensyukuri nikmatNya?
Dari
semua kondisi manusia berada dalam kerusakan, pengecualian orang-orang yang
beriman, beramal soleh, menasehati orang lain (saling menasehati) dalam
keteguhan kebenaran dan sabar. Beriman saja tidak cukup, harus beramal soleh,
menjadi soleh saja tidak cukup, harus saling menasehati. Dalam surah Al A’raf
ayat 163-165 menjadikan alasan kita untuk berdakwah. Bagaimana cara kita
memantaskan diri dan menyiapkan diri menjadi seorang kader dakwah? Terkadang
kita merasa, saya masih muda dan belum punya cukup ilmu, atau berbagai alasan
untuk mundur dari tugas dakwah. Perlu kita sadari, berdakwah itu merupakan
kewajiban setiap muslim dan menjadi muslim adalah sebuah kewajiban untuk
menjaga keimanannya.
Berdakwah
tidak hanya membutuhkan semangat saja, melainkan membutuhkan persiapan dan
pemantasan diri. Pertama, persiapan fisik, seorang muslimah (mujahidah) yang
kuat fisik dan sehat lebih disukai Allah karena dengan kondisi demikian
mendukung pergerakannya dalam berdakwah. Kedua, persiapan rukhiyah, pemantasan
diri saling menasehati berawal dari kondisi rukhiyah yang bagus, yaitu hubungan
kita dengan Allah. Ketiga, persiapan ilmu, seorang mujahidah memantaskan diri
untuk selalu belajar dan memperbaiki diri dari berbagai arah, baik ilmu agama
maupun pengetahuan umum.
Menjadi
seorang muslimah adalah istimewa. Seorang muslimah akan menjadi seorang isteri
dan ibu dari anak-anak. Dengan kata lain, ummahat. Seorang ibu yang cerdas akan
menghasilkan anak yang cerdas juga. Berdakwah sebagai seorang mujahidah tidak
hanya diri sendiri tapi menyeluruh pembentukan karakter ummat. Sebagai seorang
muslimah apalagi kader dakwah harus bisa menempatkan diri menghadirkan akhlak
sebagai seorang akhwat. Image akhwat yang sesungguhnya, santun dalam perkataan
dan perbuatan, serta menjaga interaksi baik sesama wanita maupun dengan lawan
jenis.
Ummat
ini bisa dianalogikan seperti rumput. Ketika tanah itu tandus dan gersang, maka
rumput itu akan sulit tercabut. Ini diartikan sebagai mujahidah yang
berkomitmen akan sulit dicabut dalam keadaan sebagai minoritas, mujahidah ini
militan yang siap untuk dimobilisasi. Mujahidah tipe ini akan berusaha
menyirami tanah-tanah tandus disekitarnya untuk disemai menjadi bibit unggul.
Ketika kita berada dalam kondisi minoritas, ketika tidak ada halaqoh buat kita
buat halqoh itu, ketika tidak ada lingkungan kondusif maka kita buat lingkungan
itu. Sebaliknya, tanah yang subur, rumput itu banyak dan mudah dicabut. Analogi
ini bisa maknai ketika kita berada dalam kondisi mayoritas dan terlena maka
kondisi rukhiyah kita pun akan dengan mudah terombang-ambing.
Belajar
dari pengalaman pribadi. Ketika saya berada di jawa yang memanjakan saya dengan
berbagai sumur ilmu, saya hanya mengikuti majelis-majelis ilmu itu untuk
pengembangan pribadi dan belum mengamalkannya secara maksimal. Ketika setahun
bertugas di Manggarai dan menjadi minoritas, saya harus berjuang berdakwah
menunjukkan bagaimana seorang muslim itu ditempat tugas dimana saya menjadi
muslim satu-satunya. Banyak pengalaman lucu ketika harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang yang belum pernah bersentuhan dengan
seorang muslimah secara dekat. Justru dengan cara demikian, kemampuan
berkomunikasi dan pemantasan diri dari bekal di jawa sangat membantu. Selain itu, penguatan ukhuwah dalam minoritas
dengan saudara-saudara lebih terasa. Kondisi sebagai seorang minoritas dan
tempat tugas yang luar biasa di remote
area membuat saya menjadi seorang yang lebih survive. Semangat untuk menyalurkan sedikit pengetahuan yang saya
miliki kepada saudara semuslim dan semakin semangat untuk memantaskan diri
dengan belajar terus.
Ketika
berada di jawa, saya belajar mendatangi majelis-majelis ilmu dalam dekapan
ukhuwah mayoritas dan kurang berbuat lebih. Namun, ketika kondisi memaksa diri
saya sebagai minoritas, kondisi ini memacu saya membuat lingkungan kondusif itu
dengan mobilitas tinggi. Sensasi-sensasi perjalanan dakwah yang belum pernah
dirasakan dijawa; Mulai dari liqo’ dua pekan sekali yang jaraknya jauh dan
mengharuskan menginap sehari sebelumnya , mengisi ta’lim ibu-ibu di kampung
Muslim Nangapaang (pengalaman kali pertama menghandle ummahat), membina
adek-adek mentoring yang belum mengenal tarbiyah dengan degradasi moral yang
jauh berbeda dengan di Jawa sampai mengajari ngaji anak-anak muslim di koramil
Iteng yang sulit mendapatkan guru ngaji
dan jauh dari komunitas muslim.
Sebagai
seorang mujahidah, kita harus siap dalam kondisi apapun seperti analogi anak
panah, setiap anak panah harus siap diluncurkan busur kearah mana saja. Tentu
saja, kita harus memantaskan diri dengan persiapan fisik, rukhiyah, dan ilmu. Seorang
,mujahidah qowi’ harus sehat dan kuat secara fisik, kondisi rukhiyah yang
stabil dan bagus, serta memperbanyak ilmu dengan terus belajar dari berbagai
sumber untuk memperkaya khazanah keilmuan dan pengetahuan umum.
Sudahkah
kita menjadi batu bata dimana kita berada? Memperkenalkan diri kita sebagai
seorang akhwat sekaligus daiyah dengan memantaskan diri? Menjadi daiyah itu
tidak selalu dengan istilah muluk-muluk. Cukup menunjukkan bagaimana aqidah
yang lurus dan akhlaq yang kita miliki dalam cerminan keseharian kita.
Berlanjut menyentuh hati dari obyek dakwah terdekat kita, keluarga dan teman
dekat. Kemudian berlanjut ke lingkungan yang lebih luas, lingkungan sosial di
masyarakat, mulai dari dakwah sekolah, dakwah kampus, dan dakwah ummat.
Ditulis
oleh: Endah Tri Widyarini, S.Pd (Mahasiswa PPG Bahasa Inggris UNNES 2013)
-inspired : keakhwatan 2, Cahyadi Takariawan-
-inspired : keakhwatan 2, Cahyadi Takariawan-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar