1 Mei 2013

Jalan Pilihan



Ketika kita ingat kaidah dakwah, jalannya panjang, berat, penuh duri dan onak, dan hanya orang yang berkomitmen saja yang bertahan. Akankah kita menjadi bagian dari sedikit orang yang berkomitmen untuk bertahan? Sebuah pilihan ketika ingat  diciptakannya manusia dalam surat Al  A’raf 172, manusia sudah mengenal Tuhan mereka yaitu Allah ketika masih berbentuk roh. 
Dalam membangun komitmen dakwah, keimanan itu naik dan turun, sudahkah kita menjadi batu bata dimana kita berada? Sudahkah doa kita dalam dakwah? Banyaknya kenikmatan Allah tiada tara yang kita rasakan, bagaimana cara kita mensyukuri nikmatNya?
                Dari semua kondisi manusia berada dalam kerusakan, pengecualian orang-orang yang beriman, beramal soleh, menasehati orang lain (saling menasehati) dalam keteguhan kebenaran dan sabar. Beriman saja tidak cukup, harus beramal soleh, menjadi soleh saja tidak cukup, harus saling menasehati. Dalam surah Al A’raf ayat 163-165 menjadikan alasan kita untuk berdakwah. Bagaimana cara kita memantaskan diri dan menyiapkan diri menjadi seorang kader dakwah? Terkadang kita merasa, saya masih muda dan belum punya cukup ilmu, atau berbagai alasan untuk mundur dari tugas dakwah. Perlu kita sadari, berdakwah itu merupakan kewajiban setiap muslim dan menjadi muslim adalah sebuah kewajiban untuk menjaga keimanannya.
Berdakwah tidak hanya membutuhkan semangat saja, melainkan membutuhkan persiapan dan pemantasan diri. Pertama, persiapan fisik, seorang muslimah (mujahidah) yang kuat fisik dan sehat lebih disukai Allah karena dengan kondisi demikian mendukung pergerakannya dalam berdakwah. Kedua, persiapan rukhiyah, pemantasan diri saling menasehati berawal dari kondisi rukhiyah yang bagus, yaitu hubungan kita dengan Allah. Ketiga, persiapan ilmu, seorang mujahidah memantaskan diri untuk selalu belajar dan memperbaiki diri dari berbagai arah, baik ilmu agama maupun pengetahuan umum.
Menjadi seorang muslimah adalah istimewa. Seorang muslimah akan menjadi seorang isteri dan ibu dari anak-anak. Dengan kata lain, ummahat. Seorang ibu yang cerdas akan menghasilkan anak yang cerdas juga. Berdakwah sebagai seorang mujahidah tidak hanya diri sendiri tapi menyeluruh pembentukan karakter ummat. Sebagai seorang muslimah apalagi kader dakwah harus bisa menempatkan diri menghadirkan akhlak sebagai seorang akhwat. Image akhwat yang sesungguhnya, santun dalam perkataan dan perbuatan, serta menjaga interaksi baik sesama wanita maupun dengan lawan jenis.
Ummat ini bisa dianalogikan seperti rumput. Ketika tanah itu tandus dan gersang, maka rumput itu akan sulit tercabut. Ini diartikan sebagai mujahidah yang berkomitmen akan sulit dicabut dalam keadaan sebagai minoritas, mujahidah ini militan yang siap untuk dimobilisasi. Mujahidah tipe ini akan berusaha menyirami tanah-tanah tandus disekitarnya untuk disemai menjadi bibit unggul. Ketika kita berada dalam kondisi minoritas, ketika tidak ada halaqoh buat kita buat halqoh itu, ketika tidak ada lingkungan kondusif maka kita buat lingkungan itu. Sebaliknya, tanah yang subur, rumput itu banyak dan mudah dicabut. Analogi ini bisa maknai ketika kita berada dalam kondisi mayoritas dan terlena maka kondisi rukhiyah kita pun akan dengan mudah terombang-ambing.

Belajar dari pengalaman pribadi. Ketika saya berada di jawa yang memanjakan saya dengan berbagai sumur ilmu, saya hanya mengikuti majelis-majelis ilmu itu untuk pengembangan pribadi dan belum mengamalkannya secara maksimal. Ketika setahun bertugas di Manggarai dan menjadi minoritas, saya harus berjuang berdakwah menunjukkan bagaimana seorang muslim itu ditempat tugas dimana saya menjadi muslim satu-satunya. Banyak pengalaman lucu ketika harus menjawab pertanyaan-pertanyaan dari orang-orang yang belum pernah bersentuhan dengan seorang muslimah secara dekat. Justru dengan cara demikian, kemampuan berkomunikasi dan pemantasan diri dari bekal di jawa sangat membantu.  Selain itu, penguatan ukhuwah dalam minoritas dengan saudara-saudara lebih terasa. Kondisi sebagai seorang minoritas dan tempat tugas yang luar biasa di remote area membuat saya menjadi seorang yang lebih survive. Semangat untuk menyalurkan sedikit pengetahuan yang saya miliki kepada saudara semuslim dan semakin semangat untuk memantaskan diri dengan belajar terus.
Ketika berada di jawa, saya belajar mendatangi majelis-majelis ilmu dalam dekapan ukhuwah mayoritas dan kurang berbuat lebih. Namun, ketika kondisi memaksa diri saya sebagai minoritas, kondisi ini memacu saya membuat lingkungan kondusif itu dengan mobilitas tinggi. Sensasi-sensasi perjalanan dakwah yang belum pernah dirasakan dijawa; Mulai dari liqo’ dua pekan sekali yang jaraknya jauh dan mengharuskan menginap sehari sebelumnya , mengisi ta’lim ibu-ibu di kampung Muslim Nangapaang (pengalaman kali pertama menghandle ummahat), membina adek-adek mentoring yang belum mengenal tarbiyah dengan degradasi moral yang jauh berbeda dengan di Jawa sampai mengajari ngaji anak-anak muslim di koramil Iteng  yang sulit mendapatkan guru ngaji dan jauh dari komunitas muslim. 
Sebagai seorang mujahidah, kita harus siap dalam kondisi apapun seperti analogi anak panah, setiap anak panah harus siap diluncurkan busur kearah mana saja. Tentu saja, kita harus memantaskan diri dengan persiapan fisik, rukhiyah, dan ilmu. Seorang ,mujahidah qowi’ harus sehat dan kuat secara fisik, kondisi rukhiyah yang stabil dan bagus, serta memperbanyak ilmu dengan terus belajar dari berbagai sumber untuk memperkaya khazanah keilmuan dan pengetahuan umum.
Sudahkah kita menjadi batu bata dimana kita berada? Memperkenalkan diri kita sebagai seorang akhwat sekaligus daiyah dengan memantaskan diri? Menjadi daiyah itu tidak selalu dengan istilah muluk-muluk. Cukup menunjukkan bagaimana aqidah yang lurus dan akhlaq yang kita miliki dalam cerminan keseharian kita. Berlanjut menyentuh hati dari obyek dakwah terdekat kita, keluarga dan teman dekat. Kemudian berlanjut ke lingkungan yang lebih luas, lingkungan sosial di masyarakat, mulai dari dakwah sekolah, dakwah kampus, dan dakwah ummat.  

Ditulis oleh: Endah Tri Widyarini, S.Pd (Mahasiswa PPG Bahasa Inggris UNNES 2013)
-inspired : keakhwatan 2, Cahyadi Takariawan- 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar