“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.” (QS. 8:4)
Dakwah dan jihad adalah dua kata yang selamanya
harus ada dan terpatri dalam diri seorang muslim yang menghendaki al-manzilah
al-‘ulya (kedudukan tinggi) di sisi Allah. Setiap mukmin yang memahami dan
menghayati hakikat kehidupan, pasti akan menempuh jalan kebahagiaan abadi di
sisi Allah. Ia akan mendekat, berlari, dan terbang menuju keridhaan-Nya.
Maka segeralah kembali kepada
(mentaati) Allah… (QS. 51:50)
Dan setiap muslim yang di dalam relung hatinya
terhujam keyakinan bahwa kematian itu hanyalah kepastian yang cuma terjadi
sekali, maka ia akan memilih seni kematian yang paling mulia di sisi Allah.
Imam Syahid Hasan Al-Banna rahimahullah
mengungkapkan bahwa ummat yang dapat memilih seni kematian dan memahami
bagaimana mencapai kematian yang mulia, maka Allah pasti memberikan kepada
mereka kemuliaan hidup di dunia dan kenikmatan abadi di akhirat (Risalah
Jihad-Majmu’ah Rasail Al-Banna).
Saudaraku, adakah jalan yang lebih mulia dan
dapat membawa kita menuju puncak kebahagiaan selain jalan dakwah yang telah
ditempuh oleh Rasulullah saw dan yang beliau nyatakan menjadi jalan
pengikutnya?!
Katakanlah, “Inilah jalan (agama) ku,
aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah kepada Allah dengan hujjah yang
nyata…” (QS. 12:108).
Siapakah yang lebih baik perkataannya
daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shaleh dan berkata,
“Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (QS. 41:30).
Dan adakah kematian yang lebih terpuji di
sisi-Nya yang selalu didambakan oleh hamba-hamba yang beriman sejak dulu hingga
hari Kiamat selain mati dalam Jihad fii sabiililllah?!
Orang-orang yang beriman dan berhijrah
serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka adalah lebih
tinggi derajatnya di sisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapat
kemenangan. (QS: 9:20).
Saudaraku, tidak ada yang telah membuat usia para
shahabat dan para ulama sekaliber Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i,
dan Imam Ahmad rahimahumullah seolah terus memanjang hingga akhir zaman kecuali
dakwah yang mereka lakukan. Tidak ada sesuatu yang telah membuat lisan
orang-orang mukmin menyebut dan mendoakan Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali,
Thalhah, Zubair, dan Khalid bin Walid ra atau tokoh-tokoh seperti Shalahuddin
Al-Ayyubi, Thariq bin Ziyad, dan Al-Muzhaffar Quthuz selain Jihad Fii
Sabilillah. Kehidupan mereka menjadi amat berarti dan berharga karena mereka
sigap menyambut seruan Allah dan Rasul-Nya.
Namun saudaraku, kesigapan itu bukanlah hal yang
muncul begitu saja, ia adalah buah dari keimanan kepada Allah sebagai Pemberi
dan Pencipta kehidupan, buah dari keimanan kokoh kepada hari akhir di mana
kehidupan dan kebahagiaan hakiki berada. Kesigapan itu lahir dari hati yang
tidak lalai dari hakikat ini berkat taufiq dan ri’ayah rabbaniyah (penjagaan
Allah). Oleh sebab itu, Allah swt berfirman, “…dan ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya, dan ketahuilah bahwa
hanya kepada-Nya kamu akan dikumpulkan (di mahsyar). Maka kita patut bertanya
dan mengevaluasi diri: seberapa kuatkah hakikat kehidupan abadi di akhirat
telah tertanam dalam hati, sehingga kita berhak mendapatkan ri’ayah rabbaniyyah
tersebut sehingga ruhul istijabah (jiwa responsif) terhadap seruan Allah
menjadi karakter inheren diri kita? Seberapa kuat hakikat ini menshibghah
(mewarnai) diri dan perilaku kita sehingga segala resiko duniawi dalam dakwah
dan jihad fi sabililillah menjadi kecil di mata kita?
Kekuatan inilah yang menyebabkan Anas bin
An-Nadhr ra (paman Anas bin Malik ra) membuktikan respon spontan kepada Sa’ad
bin Mu’adz ra tatkala pasukan mukmin terdesak oleh musyrikin di perang Uhud
dengan ucapannya:
Ya Sa’ad ! Surga… aku mencium baunya
di bawah bukit Uhud..
Kemudian beliau maju menjemput syahid sehingga
jenazahnya tidak dapat dikenali kecuali oleh saudara perempuannya lewat jari
tangannya (Muttafaq ‘alaih - Riyadhus shalihin, Kitab Al-Jihad, hadits no
1317).
Hal itu pula yang menjadikan Hanzhalah yang
dijuluki ‘Ghasiil Al-malaikah’ (yang dimandikan oleh malaikat) segera merespon
panggilan jihad, meski ia baru menikmati malam pengantin dan tidak sempat mandi
hadats besar.
Perhatikan pula respon ‘Umair bin Al-Humam ra
tatkala beliau mendengar sabda Rasulullah saw:
Bangkitlah menuju surga yang luasnya
seluas langit dan bumi
Beliau mengucapkan kata “bakh-bakh” (ungkapan
takjub terhadap kebaikan dan pahala) semata-mata karena ingin menjadi penghuni
surga, lalu segera membuang beberapa biji kurma yang sedang dikunyahnya sambil
berkata:
Jika saya hidup sampai selesai memakan kurma ini,
oh betapa lamanya (menanti surga). Lalu beliau maju hingga gugur di perang
Badar. (HR. Muslim - Riyadhus shalihin, Kitab Al-Jihad, hadits no 1314).
Atau seperti Imam Al-Banna yang berangkat
menunaikan tugas dakwah meskipun anaknya terbaring sakit. Beliau meyakini bahwa
setelah usahanya optimal untuk mengobati putranya, Allah yang ia harapkan dalam
menunaikan tugas dakwahnya, tidak pernah akan mengecewakan dirinya.
Saudaraku, ruhul istijabah juga muncul karena
pemahaman kita tentang qadhaya ummah (problematika umat) dan ruhul mas’uliyah
(tanggung jawab) kita untuk mencari solusinya. Orang yang tidak mengetahui
bahaya yang mengancam dirinya, sangat sulit kita harapkan responnya untuk
menghindari apalagi menghilangkan bahaya tersebut. Imam Syahid Hasan Al-Banna
bahkan menghendaki agar setiap akh memiliki kepekaan perasaan, bukan sekadar
pengetahuan teoritis, tetapi harus menjadi perasaan yang membuatnya tersentuh
bahagia dengan kebaikan, dan terluka karena keburukan dan kebatilan. Dan
bukankah dakwah adalah upaya kita menegakkan al-haq dan menghancurkan
kebatilan?
Kepekaan perasaan dan ruuhul mas’uuliyyah berarti
mengharuskan kita untuk selalu berinteraksi dengan qhadhaya ummah dan terus
memahaminya tanpa menunggu orang lain memahamkannya untuk kita. Sifat ini juga
seharusnya membuat respon kita menjadi spontan dan penuh energi, sehingga
melahirkan kekuatan dahsyat betapapun lemahnya kondisi fisik. Lihatlah, bagaimana
Al-Qur’an menceritakan kemampuan Maryam as, ibunda Isa as, menggoyang batang
pohon kurma sehingga buahnya berjatuhan ketika beliau dalam keadaan lemah tak
berdaya semata-mata karena memenuhi perintah Allah dan rasa tanggung jawabnya
akan kelahiran dan keselamatan putranya yang akan mengemban risalah dakwah?
Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu
ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.
(QS: 19:25)
Saudaraku, beban kehidupan dunia yang kita
hadapi, apapun bentuknya, jangan sampai membuat kita kehilangan kepekaan dan
kesigapan memenuhi seruan dakwah dan jihad. Kita patut meneladani mujahidin
Palestina yang tidak pernah mengendur semangat dan aktivitas jihadnya meskipun
perjalanan panjang telah mereka lewati dan terus menanti mereka, dan meskipun
kesulitan hidup bahkan tekanan bertubi-tubi terus menghantam. Dan yakinlah
bahwa kebersamaan kita bersama Rasulullah saw, shiddiqin, syuhada, dan shalihin
di surga – insya Allah – ditentukan oleh sejauh mana kita meneladani mereka
dalam kesigapan memenuhi seruan dakwah dan jihad.
Ingatlah selalu kecaman Allah dan Rasul-Nya
terhadap orang-orang munafiq yang selalu mencari-cari alasan (tafannun fil
‘udzr) untuk menghindar dari kebutuhan berdakwah dan berjihad.
Mereka (orang-orang munafiq)
mengemukakan udzurnya kepadamu apabila kamu telah kembali kepada mereka (dari
medan perang). Katakanlah, “Janganlah kamu mengemukakan udzur, kami tidak
percaya lagi kepada kamu… (Q.S. 9:94).
Tadabburi pula ayat lainnya di dalam surat
At-Taubah (terutama ayat 41-47, ) yang mengungkapkan kemalasan dan keengganan
mereka agar kita senantiasa terhindar dari sifat-sifat mereka.
Ingatlah, kamu adalah orang-orang yang
diseru untuk menafkahkan (hartamu) [ada jalan Allah. Maka di antara kamu ada
yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap
dirinya sendiri, dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang
yang membutuhkan(Nya). Dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti
(kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu. (QS. 47:38).
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar