“Hai manusia, aku
menasihati kalian, kendati aku bukan orang paling baik dan shalih di antara
kalian. Buktinya, aku seringkali mendzalimi diriku, tidak bisa mengendalikannya
, dan tidak membawanya untuk taat kepada Tuhannya. Namun, jika orang mukmin
tidak menasehati saudaranya, kecuali setelah mampu mengendalikan diri, tentu
tidak ada orang yang memberi nasehat kepada orang lain, da’i menjadi langka,
tidak ada orang yang mengajak orang lain kepada Allah, menganjurkan mereka taat
pada-Nya, dan melarang mereka melakukan kemaksiatan. Pertemuan sesama orang
yang punya hati nurani dan nasehat sebagian orang mukmin kepada sebagian yang
lain menghidupkan hati orang-orang yang bertaqwa, mengingatkan mereka dari
lalai, dan melindungi dari lupa.”
[Hasan Al-Basri]
KARAKTER FUNDAMENTAL
Ikhlas
a. Kisah Khalid bin Walid;
Bukti Keikhlasan Sempurna
Ia datang menemui Rasulullah pada
tanggal 1 Shafar 8 H. Bersama Amru bin ’Ash ia masuk Islam dan sejak saat itu
juga ia berazzam untuk menebus dosa-dosanya. Masih ia ingat bagaimana ia
memimpin pasukan berkuda kafir Quraisy memporakporandakan mujahid Islam pada
perang uhud sesaat setelah pasukan pemanah ikut turun karena tergiur ghanimah.
Rasulullah menjulukinya sebagai ”pedang Allah”. Dan julukan itu mendapatkan
momentum pembuktiannya pada perang Mu’tah. Sebelumnya Rasulullah bersabda bahwa
pada perang itu ”Bendera pasukan di tangan Zaid bin Haritsah. Ia bertempur
dengan gagah berani hingga gugur sebagai syahid. Lalu, bendera diambil oleh
Ja’far. Ia bertempur dengan gagah berani hingga gugur sebagai syahid. Lalu,
panji dipegang oleh Abdullah Ibnu Rawahah. Ia bertempur dengan gagah berani
hingga gugur sebagai syahid. Lalu, bendera pasukan dipegang oleh satu dari
pedangpedang Allah. Allah memberikan kemenangan melalui upayanya.”
Dan, kenyataan yang terjadi
benar-benar tepat sesuai sabda Rasulullah. Ketika tiga pemimpin itu bergantian
menjemput kesyahidannya dan pasukan Islam semakin terdesak, Khalid bin Walid
tampil memimpin kaum muslimin dengan strategi dan semangat yang luar biasa. Ia
memberikan kemenangan dengan kesuksesannya menarik mundur pasukan secara
teratur setelah memberikan perlawanan dalam bentuknya yang baru. Pasukan Romawi
yang semula berjumlah 200 ribu orang itupun pun ciut nyalinya untuk meneruskan
peperangan. Kemenangan maknawiyah ini semakin mengokohkan Islam dan meninggikan
benderanya.
Sejak saat itu Khalid bin Walid
menorehkan prestasi yang belum pernah dicapai orang lain. Setiap peperangan
yang dipimpinnya selalu mendapatkan kemenangan. Pun, di zaman kekhalifahan Abu
Bakar, Khalid bin Walid tetaplah panglima yang selalu membawa berita
kemenangan. Peperangan dengan Musailamah Al-Kadzdzab yang semula berat pun,
akhirnya dimenangi kaum muslimin setelah Khalid bin Walid memimpin pasukan.
Pada perang Yarmuk, Khalid bin Walid menerapkan strategi baru dengan menyerbu
sayap kiri pasukan Romawi yang berjumlah 40 ribu prajurit. Yang luar biasa
adalah penyerbuan itu hanya dilakukan oleh Khalid bersama 100 pasukan
khususnya. Saat-saat kemenangan kaum muslimin semakin dekat. Saat itulah datang
utusan yang datang dari Madinah. Ia membawa surat yang mengejutkan, bahwa Abu Bakar wafat
dan digantikan oleh Umar bin Khattab serta Khalid bin Walid diberhentikan dari
jabatan panglima perang, diganti Abu ’Ubaidah bin Jarrah. Khalid membacanya
dengan tenang, lalu mendoakan almarhum Abu Bakar. Ia meminta agar utusan itu
tidak menyampaikan berita ini kepada siapapun. Sampai akhirnya setelah
peperangan usai dan kemenangan benar-benar menjadi milik kaum muslimin, ia
menyampaikan salam hormat kepada Abu ’Ubaidah bin Jarrah sebagaimana seorang
prajurit menyampaikan penghormatan kepada panglimanya. Abu ’Ubaidah bin Jarrah
mengira sang panglima sedang bercanda. Setelah ia tahu peristiwa sebenarnya ia
mencium kening Khalid karena takjub kepadanya. Demikianlah, Khalid menerima
”pemberhentian” ini dengan ikhlas. Dan sejak saat itu ia tidak pernah diangkat
sebagai Panglima Perang. Di akhir waktu, Umar ingin mengangkatnya kembali
sebagai panglima, namun maut terlebih dulu menjemput Pedang Allah ini.
Dalam dakwah tarbiyah kita, ”naik
turun” amanah tidak selalu berhubungan dengan prestasi dan kapabilitas. Amanah
bukanlah kebanggaan, ia justru menuntut tanggung jawab. Demikian pula amanah
menjadi murabbi. Bisa jadi suatu saat nanti, justru ketika kita sudah dengan
susah payah ”membesarkan” mutarabbi kita, syuro jamaah menghendaki kita
melepaskan binaan itu dan dipindah ke murabbi lain. Mampukah kita mengikuti
jejak Khalid bin Walid?
b. Kader dakwah di Jakarta sempat membentuk
”dakwah kampus” tandingan
Ketika kita mentarbiyah tanpa
didasari keikhlasan, bisa jadi yang terjadi adalah meluasnya ambisi dan
kepentingan pribadi yang akan melemahkan dakwah. Tarbiyah bukanlah jamaah
malaikat yang sempurna dan terhindar dari kekurangan. Di Jakarta, seorang kader
dakwah pernah terseret dalam kasus ketidakikhlasan. Padahal ia adalah kader
senior yang memiliki ”pengaruh”. Kesalahan pada dakwah ini sampai membawanya
membentuk ”dakwah kampus” tandingan. Tentu, hal seperti ini akan membawa dampak
buruk bagi dakwah terlebih ketika ia harus melaju kencang dan mempercepat
gerakannya untuk segera melewati satu mihwar ke mihwar berikutnya dan menggapai
kemenangan hakiki. Maka, setiap ketidakikhlasan harus diwaspadai. Secara
pribadi kita harus melakukan muhasabah setiap saat. Dan secara institusi,
jamaah harus memiliki mekanisme kontrol dan sistem imunitas yang mampu
meminimalisir segala ketidak ikhlasan. Akhirnya si kader senior tersebut
di’iqab jamaah dan segera dita’limatkan status dia yang sebenarnya. Segera
setelah itu ”pengaruh” yang dibanggakan tanpa keikhlasan itupun pudar dan
dakwah tetap berjalan dengan pesat. Sebab dakwah ini tidak tergantung pada satu
orang atau ketokohan, lebih dari itu dakwah ini melaju karena keikhlasan
aktivisnya, khususnya para murabbi di dalamnya.
c. Ikhlas mendidik
mutarabbi, tidak mengharap keuntungan materi, tidak berniat menghimpun
’kekuatan pribadi’, ikhlas jika syuro jama’ah mengambil alih mutarabbi.
Jika kita menjadi murabbi
karena ingin dipuji, Jika kita memiliki binaan agar kita mudah mendapatkan
kedudukan, Jika kita mentarbiyah karena niat memperoleh jabatan dan materi
mewah, Pada saat itu kita telah berkhianat kepada Allah dan kepada dakwah.
Sungguh tarbiyah adalah nafas
bagi kehidupan dakwah ini. Dan murabbi adalah paru-parunya. Amat mudah bagi
seorang murabbi yang telah dipercaya oleh mutarabbinya untuk mensetting langkah
mereka dan mengarahkan dukungan mereka. Jika tidak didasari keikhlasan, tentu
ini berbahaya. Bisa jadi yang bermain adalah kepentingan pribadi, dan bukan
kepentingan dakwah. Bisa jadi ia justru membelokkan mutarabbi dari jalan yang
benar, dan menyimpangkannya menuju kemadharatan.
Pendek kata, keikhlasan ini
diperlukan sejak langkah pertama. Menjadi murabbi di awal waktu juga sangat
berat. Kita harus mengeluarkan uang kita untuk koordinasi dan menjalankan
liqa’at. Kita juga meluangkan waktu dan menguras tenaga. Jika tidak ikhlas
mungkin kita segera berhenti dan membubarkan halaqah. Dan kalaupun berjalan
kita tidak pernah mendapat keridhoan Allah.
Menjadi Qudwah
Tarbiyah dengan
keteladanan Keteladanan lebih diikuti dari pada perkataan
Saat itu kaum muslimin dengan
dipimpin langsung oleh Rasulullah hendak melaksanakan ibadah haji. Namun, yang
terjadi kemudian adalah peristiwa yang kita kenal dengan perjanjian hudaibiyah.
Banyak shahabat kecewa dengan penandatangan perjanjian itu. Mereka memang belum
mengetahui sisi strategis perjanjian itu. Ketika Rasulullah memerintahkan
kepada para sahabat ”Berdirilah, lalu sembelihlah” tidak ada seorang pun yang berdiri
dari tempat duduknya. Bahkan ketika kata-kata itu diulangi tiga kali oleh
Rasulullah, masih saja belum membuahkan hasil. Maka Rasulullah berdiri dari
tempat duduk beliau dan masuk ke tempat Ummu Salamah. Beliau ceritakan kejadian
ini kepada Ummu Salamah. Istri yang cerdas inipun mengusulkan solusi brilian
”Wahai Rasulullah, apakah Engkau menyukai (realisasi perintah) itu? Keluarlah
dan jangan bicara sepatah katapun dengan mereka, hingga Engkau menyembelih
untamu dan memanggil pencukurmu untuk mencukur rambutmu” Beliaupun melaksanakan
usul istrinya. Melihat hal itu, para sahabat langsung berdiri, menyembelih unta
mereka dan mencukur rambut mereka.
Ternyata, keteladanan lebih ampuh
dari pada perkataan.
Aku khawatir emas itu
menahanku
Salah seorang sahabat yang
bernama Uqbah menceritakan satu lagi bentuk keteladanan yang langsung
dipraktikkan oleh Rasulullah :
”Aku mengerjakan sholat Ashar di belakang Nabi SAW di madinah.
Setelah mengucapkan salam beliau buru-buru berdiri dan berjalan melewati pundak
kaum muslimin untuk pergi ke salah satu bilik istri beliau. Kaum muslimin kaget
dengan sikap beliau yang buru-buru tersebut. Lalu, beliau keluar menemui mereka
dan melihat mereka kaget dengan sikap beliau tadi. Beliau bersabda, ’Aku ingat
sedikit emas ada di rumahku dan aku khawatir ia menahanku. Karena itu, aku
suruh agar emas tersebut dibagi-bagikan’.” [HR. Bukhari no. 851]
Rasulullah telah mengajarkan satu
hal lagi kepada kita. Bahwa fatwa memang diperlukan, kata-kata nasihat masih
dibutuhkan, namun keteladanan lebih dikenang dan lebih terpercaya untuk
diikuti. Bagaimana jika ada seorang murabbi yang sering menasihati agar kita
zuhud tapi ia sangat stres ketika kehilangan HP dan ketika mampu membeli HP
baru ia memamerkannya dengan wajah yang cinta dunia. Mana yang diikuti mutarabbi?
Abu Hanifah dan seekor
ular
Ibnu Al-Mubarrok berkata : ”Pada
suatu hari kami berada di masjid jami’. Tiba-tiba ada ular jatuh tepat di dekat
Abu Hanifah. Orang-orang pun melarikan diri. Aku lihat Abu Hanifah tetap
tenang. Ia hanya mengibaskan ular tersebut, lalu duduk seperti semula.” Coba
kita bayangkan kalau Abu Hanifah ketakutan dan ikut lari sebagaimana orang lain.
Mungkin orang-orang tidak begitu serius ketika beliau menasihati dan
mentarbiyah mereka. Mungkin kewibawaan beliau tidak setinggi setelah peristiwa
ini terjadi, setelah mereka benar-benar membuktikan ketenangan sang Imam yang
kini lebih populer dengan nama Imam Hanafi.
a. Meyakini fikrah
Jika murabbi ragu
fikrah Islam, bagaimana mutarabbinya?
(Keteladanan Habib bin
Zaid Al-Anshari)
Rasulullah memilih anak muda
untuk beliau tugaskan mengantar surat
kepada taghut Bani Hanifah, Musailamah Al-Kadzdzab. Surat itu melarang Musailamah Al- Kadzdzab
meneruskan aktifitasnya. Anak muda itu adalah Habib bin Zaid Al- Anshari).
Saat surat itu disampaikan Musailamah dikelilingi
pengawalnya dan Habib datang seorang diri. Setelah membaca surat Musailamah Al-Kadzdzab marah dan bertanya
kepada Habib, ”Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah?” habib
tidak gentar dengan sorot mata menakutkan Musailamah Al-Kadzdzab dan pedang
yang berseliweran di sekelilingnya. Dengan yakin Habib menjawab ”Ya”
”Apakah
engkau bersaksi bahwa aku juga Rasul Allah?” Al-Kadzdzab melanjutkan
pertanyaannya.
Apa jawaban Habib? Ia justru
mengejek Musailamah Al-Kadzdzab dengan berkata ”Aku tuli tidak dapat mendengar”
Setiap kali pertanyaan yang sama
diulang, hanya ejekan itulah yang keluar dari lisan Habib. Akhirnya Musailamah
Al-Kadzdzab memotong organ tubuh Habib satu per satu setiap kali Habib memberikan
jawaban, hingga akhirnya Habib syahid. Orang yang mendengar jawaban Habib dapat
mengetahui bagaimana kekokohan fikrahnya. Setiap murid yang membaca sejarah
kesyahidannya akan termotivasi untuk berada di atas fikrah ini kendati nyawa
taruhannya. Keteladanan akan sangat membekas dan lebih dahsyat dari ribuan
nasihat dan puluhan kitab. Murabbi harus tidak boleh ragu dengan fikrah Islam
ini. Jika ia ragu dan kesulitan dunia mampu membengkokkan fikrahnya, lalu
bagaimana dengan mutarabbi yang menjadi tanggung jawabnya. Seringkih apa dia?
Selemah apa keyakinannya?
Jika murabbi bimbang
kebenaran Al-Qur’an, bagaimana mutarabbinya?
(Keteladanan Imam
Ahmad)
Sekarang banyak pemahaman baru
yang semakin lancang terhadap Al-Qur’an. Diantaranya Islam liberal yang semakin
lama semakin ”inovatif” mengotak-atik ayat untuk kemudian melakukan dekontruksi
dan mendistorsi ajaran Islam yang sebenarnya. Imam Ahmad memberikan pelajaran
kepada kita bagaimana seorang murabbi menjadi teladan dalam mempertahankan
keyakinannya akan Al-Qur’an. Beliau dipaksa oleh penguasa saat itu untuk
mengakui bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dan dihadapkan pada penjara serta
penyiksaan jika tetap pada pendiriannya. Imam Ahmad bersikukuh dengan
keimanannya meskipun ia mendapatkan penjara dan mengalami penyiksaan. Maka,
lihatlah bagaimana para muridnya. Mereka pun mengikuti jejak gurunya dan
keimanan itulah yang akhirnya abadi dan menang sampai sekarang.
Jika murabbi ragu
manhaj tarbiyah, bagaimana mutarabbinya?
(Keteladanan Sayyid
Quthb)
Pemikiran Sayyid Quthb tampaknya
telah menjadi momok tersendiri bagi penguasa Mesir. Cahaya yang digoreskan oleh
pena kader dakwah ini mampu menembus realita kejahiliahan yang selama ini
dilestarikan oleh penguasa dan tuan-tuan mereka dari kalangan kolonialis
Inggris. Kitab-kitab itu juga yang kemudian membangkitkan umat Islam di sana dari tidur
panjangnya. Apalagi dengan kitab Ma’alim fit Thariq dan Fi Dhilalil Qur’an.
Penguasa Mesir sadar jika ini dibiarkan akan semakin membangkitkan umat dan
mengokohkan dakwah Islamiyah. Lalu bagaimana kelangsungan kekuasaan mereka?
Mungkin pertanyaan terakhir inilah yang membuat mereka menjatuhkan hukuman mati
kepada Sayyid Quthb.
Namun, pena yang telah digoreskan
untuk membela kalimat tauhid tidak mungkin digunakan lagi untuk mengotorinya,
meskipun tiang gantungan telah menanti di sana .
Fikrah tarbiyah yang tertanam kuat dalam diri Sayyid Quthb menjadikannya
tersenyum menyambut tiang gantungan. Bukankah kesyahidan yang selama ini ia
tunggu? Kini datang kesempatan itu, lalu apa yang perlu ditakutkan dan siapa
yang bisa menghalangi senyum kebahagiaan? Sehingga ketika beberapa ”ulama”
–yang sesungguhnya telah terbeli oleh imperalis- saat itu menawari kebebasan
kepada Sayyid Quthb dengan syarat ia ”bertaubat” dari pemikirannya, ia pun
menjawab dengan tenang ”bukankah kalian yang seharusnya bertaubat”. Ya, dengan
senyum kedamaian ia menghadap Rabb-nya. Hari ini kita menghadapi era dakwah
yang tidak seganas masa Sayyid Quthb. Namun, tantangannya kadang membuat kita
terlena dan merapuhkan fikrah tarbiyah kita. Begitu banyak fikrah yang kini
juga ikut meyakinkan umat ini akan solusi terhadap problematika kehidupan yang
terjadi. Kalau para murabbi kemudian ragu-ragu akan efektifitas dan
orisinalitas fikrah tarbiyah, lalu bagaimana dengan para mutarabbinya?
b. Semangat mempelajari ilmu
Inilah kelemahan nyata para kader
dakwah tarbiyah yang harus segera dibenahi. Dan para murabbi harus menjadi
orang pertama yang mempeloporinya.
Manusia ’tunduk’ pada
orang yang lebih ’alim
Inilah sunnah kauniyah yang harus
disadari oleh murabbi. Keikhlasan saja tidak cukup. Kecepatan dalam berharakah
saja tidak cukup. Betapa banyak halaqah yang kemudian bubar karena mereka tidak
yakin dengan kafa’ah syar’i murabbinya. Kader-kader baru itupun kemudian
berkesimpulan, ”kalau tarbiyah hanya seperti ini, lebih baik saya membaca buku
di rumah” yang lain berkata ”lebih baik mendengarkan pengajian di kaset dan
radio”, yang lain berkata ”lebih baik menghadiri majlis taklim harokah lain”.
Jika sudah demikian barulah
murabbi merasakan bahwa ia memiliki kekurangan tetapi ia terlambat sampai
kehilangan para mad’unya. Sebaliknya jika seorang murabbi semangat mempelajari
ilmu, meskipun tidak sampai derajat mumtaz, namun para mutarabbi bisa melihat
berkembangnya ilmu murabbinya. Ketika mereka mendapatkan hal-hal baru tentu
mereka menyukainya. Ketika ia mendapat permasalahan ia lari kepada murabbinya
sebab ia yakin murabbinya cukup sebagai problem solver dalam setiap kasusnya.
Agar tidak terjerumus
’sesat menyesatkan’
Murabbi yang keilmuannya
pas-pasan dan tidak memiliki semangat untuk meningkatkan ilmunya bisa jadi
justru akan terseret kepada ”fatwa” sesatmenyesatkan. Contoh di zaman sahabat
pernah terjadi yaitu ketika seseorang sakit akibat luka peperangan dan ia
mengalami junub. Salah seorang sahabat yunior ketika ditanya tentang apa yang
harus dilakukannya justru ’memfatwakan’ agar si sakit tetap mandi junub dan
tidak ada rukhshah. Maka si sakit itupun menuruti dan akhirnya justru
meninggal. Ketika diadukan kepada Rasulullah, beliau menyesalkan ’fatwa’
semacam ini.
Kita akan dihadapkan dengan
banyak pertanyaan dari mutarabbi, baik saat liqa’at maupun di kesempatan lain.
Semakin hari tidak justru pertanyaan itu semakin habis, namun selalu timbul
pertanyaan baru seiring pengalaman hidup yang dilalui mutarabbi kita. Jika kita
jumud ’malas’ menuntut ilmu, kita bisa terdorong kepada kesalahan ini. Maka,
seorang murabbi harus tetap menghadiri liqa’at (lihat QS.3:79), tastqif yang
diadakan oleh jamaah, dan juga menghadiri majelis taklim yang disampaikan oleh
para ustadz dan qiyadah kita.
Mutarabbi mengikuti
jejak sang murabbi
Kalaupun seorang mutarabbi tidak
’mengundurkan diri’ melihat kelemahan ilmu murabbinya (mungkin karena ia ridha
dengan jamaah dakwah ini bagaimanapun murabbinya), ini tetap menimbulkan efek
negatif. Salah satunya, mutarabbi inipun ikut malas karena mengikuti jejak sang
murabbi. Ia merasa cukup dengan ilmu yang pas-pasan. Merasa ’rida’ dengan
mengetahui rasmul bayan beserta terjemahnya tanpa bisa menjelaskan lebih jauh
kepada dirinya sendiri apalagi orang lain. Jika hal ini membudaya, jamaah ini
akan menjadi jamaah yang justru membebani umat Islam. Kita berlindung kepada
Allah agar jamaah ini tidak justru menjadi bagian dari masalah. Kita harus
menjadi bagian dari solusi dan salah satu syaratnya adalah ilmu. Baik ilmu
syar’i maupun sains dan teknologi. Bukankah sekarang dakwah kita melaju menuju
cita-cita sebagaimana yang diistilahkan Hasan Al-Banna ”Ustadziyatul ’Alam”,
lalu bagaimana kita merasa cukup dengan ilmu yang minimal?
c. Berakhlak mulia
”Innamal bu’itstu li utammimma makaarimal akhlaaq”
Sedemikian pentingnya perbaikan
akhlaq sampai-sampai hal itu menjadi konsentrasi misi Rasulullah SAW. Dan,
mengapa dakwah Rasulullah disambut dengan segera oleh orang-orang terbaik saat itu?
Karena akhlaq Rasulullah yang terkenal selama 40 tahun tanpa cela.
Murabbi juga demikian, kalau ia
memiliki akhlak yang mulia mutarabbinya pun hormat dan kagum kepadanya, setelah
dua hal itu ada dalam hatinya apa lagi yang menghalanginya untuk menerima
tarbiyah dari murabbinya?
Kejujuran adalah harga
mati!
Murabbi harus berhati-hati dalam
setiap pembicaraan. Jangan sampai ia berbohong. Kalaupun menggunkan tauriyah ia
harus menjelaskan ketika diperlukan. Sebab ini merupakan harga mati dalam
dakwah. Dakwah kita tidak membutuhkan para pembohong meskipun ilmunya setinggi
langit. Justru kejujuran inilah yang membuat dakwah kita mudah diterima oleh
masyarakat di saat mereka dipenuhi dengan kepalsuan dan kebohongan.
Wajib menepati janji
Seorang murabbi yang sudah
berjanji kepada mutarabbinya kemudian ia ingkar, akan dicatat oleh mutarabbi
dalam hatinya dan bisa jadi akan membekas selama-lamanya. Bayangkan seorang
mutarabbi yang menunggu sang murabbi di rumah selama 2 jam karena murabbi
berjanji untuk datang. Ia sudah menyiapkan segalanya. Buah dan minuman di meja,
buku yang di tata rapi di lemari. Bahkan rumahnya dikondisikan sedemikian
bersih dan rapinya seakan kedatangan raja. Dua jam ia menunggu dan ternyata
murabbi tidak datang. Bagaimana perasaannya?
Atau ia telah merelakan untuk
tidak kuliah karena janjian dengan murabbi untuk mengantarkan proposal dakwah.
Lama ditunggu ternyata hanya SMS yang ia terima ”afwan, ana ada acara lain”
Perhatikan wahai para murabbi! Manusia memang bisa lupa dan kadang ada udzur mendadak.
Jika memang demikian, tebuslah dengan kebaikan yang lebih besar atau minimal
setara dengan pengorbanan dia. Memberi hadiah dan silaturahim ke rumahnya di
lain waktu misalnya.
Jangan ghibah apalagi
di depan mutarabbi
Ya, jangan ghibah. Jika Anda melakukannya,
apalagi di depan mutarabbi Anda akan kehilangan kepercayaan darinya (selain
mendapat dosa tentunya). Ia akan menganggap bahwa apa yang Anda sampaikan
berkenaan dengan akhlak serta hak ukhuwah hanyalah teori. Bahkan mutarabbi akan
menilai bahwa jamaah ini tidak baik karena ia bersaudara secara teori, bahkan
berpelukan ketika bertemu tapi berkhianat dan saling menjatuhkan pada saat
berjauhan. Dan, ternyata penyakit ini mulai ada di Gresik. Waspadalah. Mari
kita perbaiki diri kita dan saling menasehati saudara kita.
Menjaga diri dari
perkataan kotor dan perbuatan yang tidak terhormat
Murabbi mengumpat? Murabbi
dangdutan? Apa kata mutarabbi! Kalau murabbi merahasiakan ’aib’ seperti itu dan
kemudian diketahui mutarabbi juga menjadi lebih parah akibatnya. Jika salah
seorang diantara kita menyampaikan materi tentang maksiat telinga misalnya dan
salah satunya kita sebutkan musik atau nyanyian pengundang nafsu, mutarabbi
akan mulai berusaha memperbaiki dirinya bahkan menganggap kita adalah teladan
yang bisa dicontoh. Lalu suatu hari ia meminjam flash disc kita dan membukanya,
ternyata penuh dengan lagu dangdut. Berubahkah pandangannya? Ke arah mana ia
melangkah, mengikuti teori akan menjadikan pengalaman itu sebagai pembenar
kebiasaannya?
d. Tidak berhenti beramal
Murabbi aja futur
apalagi ane
Kalau seorang murabbi yang
diikuti kemudian futur, malas-malasan berharokah, hanya tinggal liqa’at dan
mengisi liqa’at tanpa terlibat aktifitas dakwah dan tarbiyah tentu akan
dijadikan alasan bagi mutarabbi untuk pasif dalam dakwah. Ia bisa berkata
”murabbi aja futur apalagi ane”.
Semakin banyak murabbi yang
berhenti beramal, semakin banyak mutarabbi yang melakukan hal sama. Dan ini
artinya semakin sepi dakwah dari gerakan yang harus dibangunnya. Kalau tarbiyah
hanya menghasilkan ini, lalu di mana produktifitas yang dinantikan umat? Di
mana keberkahan dakwah yang dirindukan umat? Tidak ada kontribusi nyata yang
dipersembahkan bagi umat Islam kecuali sebatas liqa’at yang hanya memperbaiki
beberapa orang.
Tidak cukup hanya
sekedar menjadi murabbi
Dakwah ini membutuhkan amal nyata
untuk menyelesaikan problematika umat dan menunjukkan amalnya kepada Allah,
Rasul, dan kaum mukminin. Dakwah ini harus membuktikan diri bahwa ia adalah
rahamatan lil ’alamin. Para kadernya harus mampu
menampilkan inilah kader qiyadah mujtamal ’muslim negarawan’. Dakwah ’ammah
senantiasa diperlukan bahkan perkembangannya harus sebanding dengan pesatnya
pertumbuhan halaqah-halaqah. Dan ini tidak cukup hanya sekedar menjadi murabbi.
Pada saat yang sama kita adalah aktifis dakwah, aktifis harokah.
Nahnu qaumun ’amaliyun
Inilah kader dakwah yang
sesungguhnya sebagaimana konsep Hasan Al- Banna setelah ia menyimpulkan gerakan
Islam pada zaman Rasulullah dan para sahabat serta generasi sesudahnya.
Maka, mereka yang hanya berteori
tanpa mau beramal akan kehilangan pahala orang yang berjihad dan akan
tertinggal bersama dengan orang-orang yang duduk. Dakwah membutuhkan energi
besar dan umat membutuhkan contoh nyata selain teori yang mereka terima. Di
saat mereka menemukan jamaah yang sama antara konsep dengan amalnya, maka
mereka berbondong-bondong menyambut dakwah ini dan sebagiannya masuk menjadi
bagian darinya.
Merusak keteladanan,
merobohkan tarbiyah Perbuatan tidak sesuai perkataan
Keteladanan kita bisa pudar
sedikit demi sedikit atau bahkan pudar sama sekali tatkala perbuatan kita tidak
sesuai dengan perkataan yang kita sampaikan kepada mutarabbi. Kita mengatakan
kepada mereka untuk diam mendengarkan adzan, sementara kita pada saat syuro
asik bertelpon ria padahal adzan dikumandangkan. Kita mengatakan haram makan
sambil berdiri tetapi justru melakukannya tatkala ada pesta pernikahan
prasmanan.
Tidak konsekuen dengan
perkataan
Poin ini berbeda dengan poin
sebelumnya. Perubahan keteladanan poin ini tidak terjadi pada orang yang
perbuatannya tidak sama dengan perkataannya secara sengaja. Tapi, terjadi pada
orang yang tidak menerapkan apa yang ia katakan dan tidak mengerjakannya secara
permanen. Itu terjadi karena sebab-sebab berikut :
- ia tidak menghargai bentuk perbuatan
yang merupakan ekses perkataannya
- Ia tidak tahu jenis perbuatan yang
merupakan ekses perkataannya
- Ia bersemangat tanpa diimbangi dengan
kesadaran
- Tidak menghargai potensi yang
dimilikinya untuk mengerjakan perbuatan tersebut
Kesalahan di depan mutarabbi
Meskipun kecil dan tidak
disengaja, kesalahan di depan mutarabbi bisa merusak keteladanan. Sehingga kita
dituntut untuk berhati-hati. Terlebih ketika mutarabbi kita masih baru dan
menyampaikan hal-hal yang tidak kita sukai. Misalnya saja ia mengatakan
kelebihan harokah lain. Lalu kita yang tahu kekurangan harokah tersebut secara
refkel dengan agak emosional mengatakan kalau harokah tersebut jelek dan begini
begitu. Sikap tidak simpatik ini merusak keteladanan yang sebelumnya sudah mulai
tertanam pada dirinya.
Kalaupun kemudian tanpa sengaja
kita melakukan kesalahan itu segeralah minta maaf atau berikan obat penawar
yang mampu mengalahkan kesalahan tersebut dan mengembalikan keteladanan kita.
Takwiner
Lebih dari sekedar
motivator
Seorang murabbi bukan sekedar
motivator. Ia adalah guru, orang tua, sekaligus sahabat yang memiliki tugas
besar membentuk mutarabbi mencapai muwashshofat kader dakwah. Tugas yang sangat
berat dan perlu untuk dilakukan dengan penuh kesungguhan, sabar, do’a, dan
tawakal.
Maka, seorang murabbi pun perlu
mendoakan mutarabbinya setiap ia shalat malam agar dijaga oleh Allah dan
ditingkatkan iltizamnya serta menjadi kader dakwah yang mencapai
muwashshofatnya.
Membimbing bukan
sekedar mengawal
Dengan lembut dan sabar kita
dituntut membimbing mutarabbi kita. Suatu saat ia melakukan kesalahan, suatu
saat ia khilaf, bahkan bisa jadi suatu saat ia tampak tidak menghargai kita. Di
sinilah murabbi yang ideal memainkan perannya dengan baik dan memberikan sikap
tepat seperti yang dibutuhkan untuk mentakwin mutarabbi.
Kadang mutarabbi juga dihadapkan
pada permasalahan pribadi dan keluarga. Kesulitan dalam mata kuliah tertentu,
menghadapi ketidaksetujuan keluarga dengan pilihan dakwahnya, atau bahkan ia
ingin menikah. Murabbi membimbingnya menemukan solusi bagi problematika yang
dihadapi mutarabbi. Tentu, karena kita terbatas kita tidak mampu mengatasi
semuanya seorang diri, alpalagi berkenaan dengan masalah finansial. Tapi
minimal usaha kita menentramkan dia dan semakin mengokohkannya pada jalan dakwah
ini.
Hobi mengokohkan hati
Di awal halaqah mungkin seorang
mutarabbi sedang mengalami masa-masa semangatnya. Namun beberapa bulan ke depan
bisa jadi ia merasakan kejenuhan dan kadang ada perasaan untuk ’berhenti’ dari
proses tarbiyah. Terlebih ketika ia menghadapi banyak masalah. Murabbi takwiner
melihat ini sebagai peluang pahala untuk mengokohkan hatinya. Bukan justru
membuat ia turut melemah dan mengeluh ”Memang perjalanan dakwah ini melelahkan
akh. Apalagi sekarang ana juga banyak hutang. Orangtua menuntut kuliah cepat
selesai lagi...” ketika kita berlaku demikian dijamin mutarabbi semakin lemah
dan akhirnya semakin banyak yang berguguran di jalan dakwah.
Lihatlah Rasulullah dari awal di
utus sebagai nabi sampai kemenangannya di Madinah. Perjalanannya penuh dengan
nuansa pengokohan hati para sahabatnya. Saat hijrah misalnya, beliau
mengokohkan hati Abu Bakar bahwa mereka pasti selamat karena Allah bersama
mereka. Pun saat perang khandaq, justru di saat-saat genting dan menakutkan
Rasulullah malah memberikan kabar kemenangan dakwah bahkan dakwah akan
menguasai Persia ,
Romawi, dan membesar ke seluruh dunia.
STRATEGI MURABBI BARU
- Bulan pertama; Tumbuh ketertarikan dan
kekaguman
· Kuasai 100% empat materi pertama
o
Hafal rasmul bayan dan tulis di papan tanpa contekan
o
Hafal dalil di luar kepala
o
Beri ilustrasi (contoh kasus) setiap poin materi
· Jadikan ta’aruf sebagai kenangan
berkesan
o
Segera hafalkan nama dan biodatanya
o
Panggil dengan panggilan kesukaannya
o
Kaitkan dengan kebaikan atau orang yang Anda kagumi
o
Kenalkan diri Anda dengan elegan
· Upayakan kehadiran mutarabbi 100%
sempurna
o
Ingatkan jadwal liqa’ jangan lupa tanya kabarnya
o
Jika mutarabbi tidak hadir; telpon, datangi, beri hadiah
- Bulan kedua – bulan keempat; Perhatian
· Silaturahim
· Hadiah
· Komunikasi
· Meningkatkan kualitas halaqah
· Merealisasikan wasa’ilut tarbiyah
· Melibatkan mutarabbi pada amanah
dakwah sesuai marhalahnya
- Bulan selanjutnya; Pengokohan dan
Pembentukan
· Tugas mulai diberikan
· Jika tsiqah sudah kuat, materi
dengan ’membaca’ pun tidak masalah
· Mutaba’ah ditingkatkan
· Kemadirian halaqah diciptakan
(misal murabbi berhalangan, halaqah bisa tetap jalan)
TSAQOFAH MINIMAL SANG MURABBI
· Rasmul bayan + syarah
· Juz 30 + tafsir
· Hadits arbain nawawi + al-wafi
· Sirah nabawiyah
· Majmu’atur Rosail
· Wasailut Tarbiyah
[Muchlisin, Lajnah
Tarbiyah Thullabiyah]
http://www.muchlisin.co.cc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar