3 November 2014

Dakwah Dalam Diam



Setiap jam kepulangan siswa; pukul 12.30, depan sekolah tempatku mengajar berubah seperti pasar pindah. Meski sudah mencoba berdialog berkali-kali plus sudah dipasang papan bukan tempat untuk berjualan, tetap saja banyak pedagang berjejer-jejer menjajakan dagangannya disana. Kami, selaku pihak sekolah sebenarnya merasa keberatan dengan kebandelan mereka namun kami tak bisa berbuat banyak. Karena, seperti tugas kami, dagangan itu sumber nafaqoh mereka.

Lama-lama, kami mulai terbiasa dan merasa biasa dengan kehadiran mereka. Saat piket; iseng, aku mencoba menghitung satu persatu pedagang yg berikhtiar menjemput rejeki itu. Untuk ukuran halaman luar gerbang PAUD IT Mutiara Hati yang sempit, jumlah mereka bisa dikatakan banyak. Dan ternyata setelah ku amati, mereka membawa ciri khas masing-masing untuk menarik pelanggan. Ada pedagang roti berlisensi japan yang dari gerobak sepedanya selalu mengeluarkan theme song dari sebelum anak-anak keluar kelas hingga sekolah sepi. Ada pedagang susu cup yang juga punya lagu khas. Ada pedagang es tong-tong, dengan bonang yang selalu melekat pada gerobak dorongnya. Tak ketinggalan  pedagang kue leker yang meyetel lagu pop dewasa kencang-kencang layaknya konser yang disiarkan secara live. Ada juga beberapa pedagang mainan yang hanya menggelar dagangannya begitu saja di lantai. Itu baru beberapa, yang lain masih banyak lagi.

Aku merenungi cara mereka menawarkan dagangan. Untuk bisa dikenal dan menarik perhatian calon pembeli, mereka harus memiliki tanda khusus. Tanda yang membedakannya dengan pedagang lain. Sama seperti kita yang memiliki kewajiban menyeru pada kebenaran. Bahwa, setiap kita(dai)  punya ciri masing-masing untuk menghimpun target dakwah kita. Seperti misalnya, Yusuf Mansyur dengan sedekahnya, ust. Arifin Ilham dengan majelis Adz-Dzikranya, Alm. Uje dengan kegaulannya, Asma Nadia, Afifah Afra, Tere Liye, Salim A. Fillah, Habiburahman El Shirazy dengan buku-bukunya. Atau seperti Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, Fahri Hamzah, Ahmad Heryawan, Irwan Prayitno  denngan prestasi dalam dunia politik Indonesia, juga edcoustic, opick dan raihan dengan syair lagu-lagu relijiusnya. Mereka dikenal dan besar dengan penanda mereka (juga atas ijin Allah). Belajar dari hal tsb, maka aku yg berharap bisa tergabung dalam barisan pengemban risalah Rasulullah SAW, juga ikut membangun tanda. Tanda yang sebenarnya sudah mulai aku bangun sejak masih duduk di bangku SMK.

Empat tahun yang lalu, atas hidayah Allah, aku berazam untuk melakukan hijrah menuju babak baru dalam hidupku. Perjalanan berkilo-kilo meter dimulai dari satu langkah awal, begitu kata-kata bijak yang sering ku baca. Maka sebagai langkah awal berhijrah, aku kenakan jilbab rapi hingga menutup dada sesuai dengan perintahNya dalam QS. An Nur dan Al Ahzab. Namun beberapa bulan kemudian, seiring bertambahnya ilmu dan pemahamanku terhadap Islam, niat berjilbabku bertambah. Jilbab yang ku pakai tak hanya sebagai penanda hijrah tapi juga penanda dakwah. Setiap kali orang lain melihat jilbabku maka secara otomatis aku sudah memperlihatkan bahwa aku tidak malu dengan identitas Islamku. Setiap orang menatap lebarnya jilbabku aku juga sedang berdakwah, ini perintah Allah lho. Saat orang penasaran apa tidak gerah? Apa tidak ribet? Apa tidak ndeso? Aku tunjukan bahwa jilbab 'rapi' tidak menghambat aktivitas dan malah menambah 'cantikny' diri. Jilbab juga berandil besar memperbaiki akhlakku. Maka aku juga berdoa, semoga Allah membuka mata dan hati orang lain untuk mengikuti kebaikan yang ku lakukan. Pokoknya aku desain sedemikian rupa niat dalam hati. Bahwa, jilbab ini tak hanya berupa kebenaran dan kebaikan tapi juga salah satu penyalur kebenaran dan kebaikan. Bahwa, jilbab ini tak hanya bermanfaat bagi diriku sendiri tapi juga bagi orang lain; di dunia hingga akhirat kelak.

Nah,
Itulah jalan dakwahku. Jalan dakwah yang ku susuri dalam diam dengan jilbab sebagai pengingat dan penandanya. Jalan yang mungkin selemah-lemahnya cara. Namun semoga dengan begini, aku yang besar malu saat berbicara di depan orang banyak; aku yang tak  pandai meramu kata; aku yang biasa-biasa saja tetap bisa ikut berkontribusi dalam dunia dakwah yang semakin membahana ini. Lillah, billah. . .

Alya Jazilah
Dalam tugas "Aku dan Dakwah"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar