Setiap jam kepulangan siswa; pukul 12.30,
depan sekolah tempatku mengajar berubah seperti pasar pindah. Meski sudah
mencoba berdialog berkali-kali plus sudah dipasang papan “bukan tempat
untuk berjualan”, tetap saja banyak pedagang berjejer-jejer menjajakan dagangannya
disana. Kami, selaku pihak sekolah sebenarnya merasa keberatan dengan ‘kebandelan’ mereka namun
kami tak bisa berbuat banyak. Karena, seperti ‘tugas’ kami, dagangan itu sumber nafaqoh
mereka.
Lama-lama, kami mulai terbiasa dan merasa ‘biasa’ dengan
kehadiran mereka. Saat piket; iseng, aku mencoba menghitung satu persatu
pedagang yg berikhtiar menjemput rejeki itu. Untuk ukuran halaman luar gerbang
PAUD IT Mutiara Hati yang sempit, jumlah mereka bisa dikatakan banyak. Dan ternyata
setelah ku amati, mereka membawa ciri khas masing-masing untuk menarik
pelanggan. Ada pedagang roti berlisensi japan yang dari gerobak sepedanya
selalu mengeluarkan theme song dari sebelum anak-anak keluar kelas hingga
sekolah sepi. Ada pedagang susu cup yang juga punya lagu khas. Ada pedagang es
tong-tong, dengan bonang yang selalu melekat pada gerobak dorongnya. Tak
ketinggalan pedagang kue leker yang
meyetel lagu pop dewasa kencang-kencang layaknya konser yang disiarkan secara
live. Ada juga beberapa pedagang mainan yang hanya menggelar dagangannya begitu
saja di lantai. Itu baru beberapa, yang lain masih banyak lagi.
Aku merenungi cara mereka menawarkan
dagangan. Untuk bisa dikenal dan menarik perhatian calon pembeli, mereka harus
memiliki tanda khusus. Tanda yang membedakannya dengan pedagang lain. Sama
seperti ‘kita’ yang memiliki kewajiban menyeru pada kebenaran. Bahwa, setiap ‘kita’(da’i) punya ciri masing-masing untuk menghimpun
target dakwah kita. Seperti misalnya, Yusuf Mansyur dengan ‘sedekah’nya, ust.
Arifin Ilham dengan majelis Adz-Dzikranya, Alm. Uje dengan’ kegaulan’nya, Asma
Nadia, Afifah Afra, Tere Liye, Salim A. Fillah, Habiburahman El Shirazy dengan
buku-bukunya. Atau seperti Hidayat Nur Wahid, Anis Matta, Fahri Hamzah, Ahmad
Heryawan, Irwan Prayitno denngan
prestasi dalam dunia politik Indonesia, juga edcoustic, opick dan raihan dengan
syair lagu-lagu relijiusnya. Mereka dikenal dan besar dengan penanda mereka
(juga atas ijin Allah). Belajar dari hal tsb, maka aku yg berharap bisa
tergabung dalam barisan pengemban risalah Rasulullah SAW, juga ikut membangun
tanda. Tanda yang sebenarnya sudah mulai aku bangun sejak masih duduk di bangku
SMK.
Empat tahun yang lalu, atas hidayah Allah,
aku berazam untuk melakukan ‘hijrah’ menuju babak baru dalam hidupku. “Perjalanan berkilo-kilo meter
dimulai dari satu langkah awal”, begitu kata-kata bijak yang sering ku baca. Maka sebagai langkah
awal berhijrah, aku kenakan jilbab ‘rapi’ hingga menutup dada sesuai dengan perintahNya dalam QS. An Nur dan
Al Ahzab. Namun beberapa bulan kemudian, seiring bertambahnya ilmu dan
pemahamanku terhadap Islam, niat berjilbabku bertambah. Jilbab yang ku pakai
tak hanya sebagai penanda hijrah tapi juga penanda dakwah. Setiap kali orang
lain melihat jilbabku maka secara otomatis aku sudah memperlihatkan bahwa aku
tidak malu dengan identitas Islamku. Setiap orang menatap lebarnya jilbabku aku
juga sedang berdakwah, ini perintah Allah lho. Saat orang penasaran apa tidak
gerah? Apa tidak ribet? Apa tidak ndeso? Aku tunjukan bahwa jilbab 'rapi' tidak
menghambat aktivitas dan malah menambah 'cantikny' diri. Jilbab juga berandil
besar memperbaiki akhlakku. Maka aku juga berdoa, semoga Allah membuka mata dan
hati orang lain untuk mengikuti kebaikan yang ku lakukan. Pokoknya aku desain
sedemikian rupa niat dalam hati. Bahwa, jilbab ini tak hanya berupa kebenaran
dan kebaikan tapi juga salah satu penyalur kebenaran dan kebaikan. Bahwa,
jilbab ini tak hanya bermanfaat bagi diriku sendiri tapi juga bagi orang lain;
di dunia hingga akhirat kelak.
Nah,
Itulah jalan dakwahku. Jalan dakwah yang ku susuri dalam diam dengan jilbab sebagai pengingat dan penandanya. Jalan yang mungkin selemah-lemahnya cara. Namun semoga dengan begini, aku yang besar malu saat berbicara di depan orang banyak; aku yang tak pandai meramu kata; aku yang biasa-biasa saja tetap bisa ikut berkontribusi dalam dunia dakwah yang semakin membahana ini. Lillah, billah. . .
Itulah jalan dakwahku. Jalan dakwah yang ku susuri dalam diam dengan jilbab sebagai pengingat dan penandanya. Jalan yang mungkin selemah-lemahnya cara. Namun semoga dengan begini, aku yang besar malu saat berbicara di depan orang banyak; aku yang tak pandai meramu kata; aku yang biasa-biasa saja tetap bisa ikut berkontribusi dalam dunia dakwah yang semakin membahana ini. Lillah, billah. . .
Alya Jazilah
Dalam tugas
"Aku dan Dakwah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar